Setia pada almamater, sepertinya hal inilah yang tercermin pada riwayat hidup pria kelahiran. Nganjuk, Jawa Timur 31 Maret 1948 ini. Sete¬lah lulus sebagai sarjana muda dari FH Unair, Surabaya, ia kemudian melanjutkan pendidik¬annya mengambil sarjana hukum pada uni¬versitas yang sama (1977). Setelah menyelesaikan program Master of Comparative Law di Southern Methodist Uni versity Dallas, Amerika Serikat (1981), ia kern- Pekerjaan ball ke Unair untuk mengambil doktor dalam ilmu hukum, selain tetap sebagai staf pengajar di universitas ini. Sebagai wujud dedikasinya pada bidang ilmu hukum, ia juga memberi kuliah di ber-bagai universitas, yaitu Universitas Islam Indo¬nesia (Ull, Yogyakarta), Universitas Sam Ratu¬langi (Manado), Universitas Islam Malang, Universitas Islam Sultan Agung (Semarang), dan Universitas Udayana (Denpasar). la juga pernah menjabat sebagai Dekan FH Universitas Bangkalan Madura. Kemampuannya sebagai dosen tidak diragukan. Salah satu buktinya, ia meraih gelar sebagai Dosen Teladan Tingkat Nasional (1995). Beragam aktivitas keorganisasian pernah diikutinya seperti menjadi anggota kehormatan Pusat Studi Hak Asasi Manusia FH Unair, anggota Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, dan Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Pengajar HTN/ HAN Jawa Timur. Suami Siti Sundari yang menyukai kegiatan berkebun ini juga adalah Tim Ahli Redaksi Umum Harian Surabaya Post (1991-1993), Tim Ahli Departemen Kehakiman dalam Penyusunan RUU Kewarganegaraaan dan Tim ahli Perancang Peraturan Daerah Kota Surabaya. Terakhir, bapak dari empat anak, yaitu Harika, Dyah, Raditiyo, dan Galih, ini adalah anggota MPR RI unsur Utusan Daerah dari Provinsi Jawa Timur sebelum di¬angkat menjadi hakim konstitusi. Hidup dengan penuh kesederhanaan adalah pencerminan dari kesehariannya, sesuai motto yang dipegangnya teguh, yak¬ni "kesederhanaan pangkal kearifan". Ia menyadari sepenuh¬nya bahwa menjaga komitmen dan konsistensi ini amatlah sulit sehingga hal ini menjadi tantangan baginya tatkala terpilih seba¬gai hakim konstitusi. Bergantung pada kekuasaan Allah SWT adalah hal yang senantiasa dilakukannya untuk menjaga komitmen dan konsistensi seperti yang diucapkan perta¬ma kali saat terpilih sebagai hakim konstitusi, yaitu "Ya Allah kuatkanlah mental hamba-Mu".
Harjono
Pelaku Perubahan UUD 1945
Salah satu cara menafsir konstitusi ialah dengan metode original intent untuk mengetahui makna dan maksud asli dari kalimat yang tercantum di dalamnya. Para Hakim Konstitusi tentunya akan sangat terbantu dalam melakukan penafsiran konstitusi menggunakan metode tersebut, karena di tengah-tengah mereka ada seorang Hakim Konstitusi yang juga menjadi pelaku perubahan UUD 1945, dialah Harjono. Selama empat tahap perubahan UUD 1945 pada 1999-2002, Harjono yang saat itu menjadi anggota Panitia Ad Hoc III dan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR dari Utusan Daerah yang kemudian bergabung dengan Fraksi PDI Perjuangan, banyak memberikan kontribusi berharga bagi terciptanya rumusan-rumusan baru di dalam konstitusi yang pada akhirnya membawa perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Tercatat, pada perubahan pertama tahun 1999, Harjono menyumbangkan dua rumusan, antara lain, Pasal 17 ayat (3) yang menyatakan, “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.” Dan Pasal 20 ayat (2) yang menyatakan “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Pada perubahan ketiga tahun 2001, Harjono memberi sumbangsih sebagian rumusan Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.” Masih di tahun 2001, Harjono menambahkan frasa “menyelenggarakan peradilan” pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Harjono juga menyisipkan frasa “yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar” dalam rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang lengkapnya menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Pasal III Aturan Peralihan yang menyatakan “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung,” juga merupakan ide Harjono yang diterima dan disahkan dalam perubahan UUD 1945.
Dari semua kontribusi di atas, yang paling fundamental ialah rumusan Harjono di Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang mulanya menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,” berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan ini merupakan peletak dasar paham konstitusionalisme di Indonesia yang–salah satu cirinya–membatasi kewenangan lembaga negara karena segala kewenangan telah terdistribusi dalam fungsi-fungsi lembaga negara, dan sekaligus menghapus superioritas MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dari sinilah kemudian tercipta sistem checks and balances antarlembaga negara.
Harjono, anak pertama dari sembilan bersaudara pasangan Adi Soedarmo dan Soewarni, yang lahir pada hari Rabu Pon 31 Maret 1948 di Nganjuk, Jawa Timur ini, hampir saja bernama Bambang Bintoro andai orang tuanya mencapai kata sepakat. Beruntung ada Eyang Kethib, neneknya, yang menengahi dengan memberi nama cucu pertamanya itu “Har…” yang kemudian dilengkapi menjadi Haryono. Kemudian dalam ejaan lama tertulis Harjono. Rupanya nama tersebut memberi keberuntungan bagi pemiliknya, sehingga berhasil menjadi Hakim Konstitusi.
Harjono kecil pertama kali menapakkan kaki di dunia pendidikan pada Sekolah Rakyat (SR)—sekarang berubah nama menjadi Sekolah Dasar (SD)—pada 1955, ketika pemilihan umum pertama kali digelar di Indonesia. “Saya tidak pernah membayangkan jika kelak, soal Pemilu ini, akan melibatkan saya yaitu pada saat merumuskan pasal-pasal tentang Pemilu pada perubahan UUD 1945,” kenangnya.
Sejak kecil, Harjono sudah menunjukkan prestasinya. Harjono lulus Sekolah Rakyat (SR) di peringkat kedua, dan sekolahnya tercatat sebagai sekolah dengan angka kelulusan 100 persen, serta murid-muridnya menasbihkan diri sebagai pencapai nilai tertinggi se-Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Di sela-sela kesibukannya membantu orang tua dan membagi waktu untuk bermain, masa SMP juga dilalui Harjono dengan baik. Meski tidak mendapat predikat terbaik di tingkat sekolah, namun nilai ujian akhir Harjono terbaik di kelasnya.
Indahnya masa sekolah tidak lagi dirasakan oleh Harjono saat duduk di bangku SMA. Setelah diterima di SMA Nganjuk, karena kesulitan ekonomi, Harjono harus pindah sekolah ke Cimahi, Jawa Barat, mengikuti keluarga pamannya yang bertugas di Pusat Pendidikan Peralatan TNI AD. Untuk menyambung hidup dan menambah uang saku, Harjono muda rela berjualan sayur sebelum masuk sekolah siang hari. Bahkan di kemudian hari, Harjono juga mengembangkan kreatifitas dengan berdagang telur yang didatangkan dari Nganjuk dan dijual di Pasar Baru Bandung dan Pasar Cimahi. “Namun kegiatan ini harus terhenti ketika pecah peristiwa G30S/PKI,” kisahnya.
Bermula dari Pondok Ganesha
Belum usai menempuh pendidikan SMA di Cimahi, seiring dengan membaiknya perekonomian
keluarga, Harjono pindah ke Surabaya dan melanjutkan sekolah di SMAN 5 Surabaya, serta menempati rumah berdinding anyaman bambu dan beralas tanah di utara Surabaya. Di rumah inilah Harjono memiliki kedaulatan penuh, otonomi seluas-luasnya, untuk mengurus keperluan rumah tangga sendiri karena orang tua masih menetap di desa. “Mau masuk sekolah silakan, bolos silakan. Sak karepe dewe. Tapi kami cukup disiplin, meski tanpa kontrol,” katanya.
Lulus SMA, Harjono melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Kemandirian dan kedaulatan penuh di rumahnya membuat betah teman-teman kuliah Harjono untuk terus berkunjung dan melakukan kegiatan belajar bersama, hingga pada akhirnya rumah itu diberi nama Pondok Ganesha. Bermula dari tempat inilah intelektualitas Harjono semakin terasah. Semasa kuliah, Harjono turut menjadi bagian dari para “diktator,” pembaca diktat stensilan perkuliahan karena tak sanggup membeli buku literatur yang saat itu tergolong mahal. “Saya juga bekerja sambilan sebagai penghitung barang bangunan,” kata penyandang mahasiswa teladan se-Universitas Airlangga ini.
Karena kemampuan intelektualnya, Harjono semakin dikenal luas di kelompok-kelompok belajar dan organisasi mahasiswa, hingga antaruniversitas. Selain menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Harjono semakin intensif terlibat dalam diskusi dan menjadi mentor di berbagai tempat yang mengharuskannya sering berkeliling Surabaya, bermodalkan sepeda onthel. Dalam kegiatan antarkampus inilah, akhirnya dia bertemu dengan seorang mahasiswi Institut Teknologi Surabaya (ITS), Siti Soendari, yang kelak menjadi istri dan ibu dari keempat anaknya.
Belum usai menempuh perkuliahan, berkat prestasinya, Harjono sudah diangkat menjadi asisten dosen, calon pegawai negeri sipil (CPNS) pangkat II/b. Di bawah bimbingan Prof. Kuntjoro Purbopranoto, S.H., Harjono dipercaya mengajar mata kuliah Hukum Tata Pemerintahan.
Setelah merampungkan sarjana hukumnya, Harjono berhasil meraih beasiswa menempuh kuliah master di bidang hukum di Southern Methodist University, Dallas, Texas, AS. Harjono menempuh program Master of Comparative Law (MCL) bersama roommate-nya di sana, Bagir Manan, yang kelak menjadi Ketua Mahkamah Agung RI. Usai meraih gelar MCL., Harjono kembali mengajar di program pascasarjana Unair dan juga beberapa perguruan tinggi di Malang dan Yogyakarta. Kesempatan pertamanya merambah Jakarta datang saat diundang oleh Hendardi dan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto menjadi narasumber di acara yang digelar Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Kegiatan diskusi semacam ini semakin sering dilakukan Harjono pada masa menjelang reformasi dan saat bergabung dengan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional.
Pada Pemilu 1999, Harjono pernah dipinang oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan, Provinsi Jawa Timur, melalui ketuanya saat itu, Soetjipto, untuk menjadi calon anggota DPR dari Jawa Timur. Lamaran tersebut ditolak karena Harjono lebih sreg menjadi dosen. Namun, saat menentukan keanggotaan Utusan Daerah Jawa Timur di MPR, Harjono kembali ditawari oleh Soetjipto untuk mengisi posisi tersebut. “Karena menjadi anggota MPR tidak harus mengundurkan diri sebagai dosen di Universitas Airlangga, maka tawaran tersebut saya terima,” aku pencinta seni wayang kulit ini.
Di gedung wakil rakyat itulah akhirnya Harjono menjadi salah satu sosok penting di balik perubahan UUD 1945, berkat gagasan-gagasannya yang cemerlang. Atas prestasinya itu, pada 2003 para anggota PAH I BP MPR dari PDI Perjuangan sepakat mengajukan Harjono sebagai Hakim Konstitusi melalui jalur DPR. Namun, saat akan menjalani fit and proper test, Harjono mendapat telepon dari Departemen Hukum dan HAM yang mengatakan bahwa pemerintah saat itu, Presiden Megawati Soekarnoputri, akan mencalonkan dirinya sebagai Hakim Konstitusi. Gayung pun bersambut, dan akhirnya ia terpilih menjadi Hakim Konstitusi dari jalur pemerintah periode 2003-2008.
Pilar Penting Penjaga Konstitusi
Di mata para kolega sesama hakim konstitusi, baik periode pertama 2003-2008, maupun periode berikutnya, Harjono dikenal sebagai sosok yang mempunyai daya analisis tinggi, liar dan nakal dalam berfikir. Dalam berbagai kesempatan, Ketua MK periode 2003-2008, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., maupun Ketua MK yang sekarang, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., sering menyampaikan hal tersebut.
Selain liar dalam berfikir, Harjono dikenal sebagai kamus hidup karena luasnya ilmu dan pengetahuan yang ia miliki. Namun dari semua itu, para kolega sepakat bahwa Harjono ialah sosok yang sederhana dan bersahaja.
Terkait dengan perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), Harjono, yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, adalah orang yang berhasil merumuskan konsep: apakah pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD (subjectum litis) dan apakah obyek yang menjadi sengketa diatur di dalam UUD (objectum litis). Konsep inilah yang menjadi acuan bagi Hakim Konstitusi untuk memutus perkara SKLN.
Dua Kali Menjadi Bagian Idu Geni
Oleh banyak kalangan, Putusan Mahkamah Konstitusi dinilai layaknya idu geni (ludah api), karena apapun yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi harus dilaksanakan dan tidak ada satu pun lembaga negara yang bisa menganulir putusan tersebut. Idu geni itu keluar dari sembilan hakim konstitusi. Harjono, untuk kedua kalinya, menjadi bagian dari sembilan idu geni tersebut. Setelah purna tugas menjadi hakim konstitusi periode pertama 2003-2008, ia terpilih kembali menjadi hakim konstitusi untuk periode 20082013, melalui jalur DPR pada 2009, menggantikan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Jika pada periode pertama, sembilan hakim konstitusi berhasil membangun kelembagaan (capacity building), dan membangun kepercayaan masyarakat, maka pada periode ini sembilan hakim konstitusi harus berhasil membangun budaya sadar berkonstitusi dan menjadi motor penggerak terciptanya lembaga peradilan yang transparan dan akuntabel, serta mampu melayani secara baik para pencari keadilan.
Selain itu, melalui putusan-putusannya, Mahkamah Konstitusi ke depan juga harus mampu mendorong dilakukannya reformasi legislasi (legislation reform), reformasi kekuasaan kehakiman (judicial reform), reformasi birokrasi (bureaucratic reform), dan reformasi politik (political reform) sehingga tujuan mendirikan negara sebagaimana yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 bisa tercapai.
***