Dr. Suhartoyo S.H., M.H.

 

Ketua MK periode 2023 – 2028

 

Sosok Biasa yang Sederhana

 

Pada 9 November 2023, hakim konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung, Suhartoyo resmi menggantikan Anwar Usman. Keterpilihan Suhartoyo  tersebut dilakukan melalui musyawarah mufakat para hakim konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang berlangsung pada Kamis (9/11/2023) pagi. 

 

Suhartoyo sebelumnya menjabat sebagai hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar. Ia pun dilantik menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang habis masa jabatannya sejak 7 Januari 2015 lalu. Pada 17 Januari 2015, pria kelahiran Sleman ini mengucap sumpah di hadapan Presiden Joko Widodo. Pada 2020, Mahkamah Agung memutuskan untuk memperpanjang masa jabatan Suhartoyo sebagai hakim konstitusi.

 

Berasal dari keluarga sederhana, tidak pernah terlintas dalam pikiran Suhartoyo menjadi seorang penegak hukum. Minatnya ketika Sekolah Menengah Umum justru pada ilmu sosial politik. Ia berharap dapat bekerja di Kementerian Luar Negeri. Namun kegagalannya menjadi mahasiswa ilmu sosial politik memberi berkah tersendiri karena ia akhirnya memilih mendaftarkan diri menjadi Mahasiswa Ilmu Hukum “Saya tidak menyesali tidak diterima menjadi Mahasiswa Ilmu Sosial, karena sebenarnya ilmu sosial politik sama dengan ilmu hukum. Orientasinya tidak jauh berbeda,” ujar suami dari Sutyowati ini.

 

Seiring waktu ia semakin tertarik mendalami ilmu hukum untuk menjadi seorang jaksa, bukan menjadi seorang hakim. Namun karena teman belajar kelompok di kampus mengajaknya untuk ikut mendaftar dalam ujian menjadi hakim, ia pun ikut serta. Takdir pun memilihkan jalan baginya. Ia menjadi hakim, terpilih di antara teman-temannya. “Justru saya yang lolos dan teman-teman saya yang mengajak tidak lolos. Akhirnya saya menjadi hakim. Rasa kebanggaan mulai muncul justru setelah menjadi hakim itu,” jelas penyuka hobi golf dan rally ini.

 

Pada 1986, ia pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung. Ia pun dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011. Di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar. Ia juga terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011).

 

Mudah Beradaptasi

 

Mahkamah Konstitusi merupakan tempat yang sama sekali baru bagi ayah dari tiga orang anak. Kewenangan yang berbeda dimiliki oleh MK dan MA membuatnya belajar banyak. Jika di MA, sifat putusannya hanya terkait untuk yang mengajukan permohonan, maka di MK, putusannya mengikat untuk seluruh warga negaranya. Ia mengaku cepat belajar dan mudah menyesuaikan diri di lingkungan MK. “Saya menemukan perbedaan dari sisi naskah putusan, di sini (MK, red.) bahasanya lebih halus dibanding di MA yang penggunaan bahasanya cukup tajam. Sedangkan soal proses persidangan, saya merasa tidak ada masalah,” terangnya.

 

Perbedaan kewenangan yang dimiliki MK dan MA membuatnya harus beradaptasi sebagai hakim konstitusi. Tetapi kerja sama dari hakim konstitusi lainnya, membuatnya tidak merasa sulit beradaptasi dengan tugas barunya. “Hakim (konstitusi) lainnya membantu saya dan saya banyak belajar dari mereka,” ujarnya.

 

Percaya Pansel

 

Pada 2015 silam, keterpilihannya sebagai hakim konstitusi menuai kontroversi. Namun sepak terjangnya sebagai hakim konstitusi selama 7 tahun 11 bulan membuktikan kompetensi dan integritasnya. Dalam beberapa putusan, ia kerap kali berada dalam kubu dissenting opinion. Sebut saja, putusan terbaru mengenai uji materiil batas usia capres dan cawapres, yakni Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial. Dalam putusan tersebut, ia berpendapat terhadap Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan tersebut. Sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbedanya dalam putusan permohonan a quo.

 

Nyaman Menjadi Orang Biasa

 

Berasal dari lingkungan sederhana, membuatnya tidak terlalu mengandalkan jabatan atau posisi. Baginya menjadi hakim konstitusi, hal yang tinggi dan sebenarnya membuatnya tidak nyaman karena fasilitas yang ada. “Saya ini nyaman menjadi orang-orang biasa saja,” ungkapnya.

 

Disinggung mengenai dukungan keluarganya, Suhartoyo menjelaskan ketika pencalonan dirinya yang penuh kontroversi, anak-anaknya justru berpikir untuk apa dirinya menjadi hakim konstitusi. “Karena anak-anak saya berpikir ketika saya dihujat, buat apa jadi hakim konstitusi jika harkat dan martabatnya dilecehkan. ‘Lebih baik jadi orang biasa saja’, kata anak-anak saya,” ingatnya.

 

Untuk itu, ia pun berharap keberadaannya yang melengkapi sembilan pilar Hakim Konstitusi dapat memenuhi rasa keadilan yang dicari para pencari keadilan ke MK. “Saya bekerja untuk bisa memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan,” tandasnya.

 

 

Tempat, tanggal lahir :

Sleman, 15 November 1959

 

Jabatan:

Hakim Konstitusi

 

 

 

Keluarga:

Istri:

Sustyowati

 

Anak:

Dhesga Selano Margen

Sondra Mukti Lambang Linuwih

Jeshika Febi Kusumawati

 

Pendidikan:

 

S-I Universitas Islam Indonesia (1983)

S-2 Universitas Taruma Negara (2003)

S-3 Universitas Jayabaya (2014)

LHKPN TAHUN 2017





LHKPN TAHUN 2018





LHKPN TAHUN 2019





LHKPN TAHUN 2020





LHKPN TAHUN 2021





LHKPN TAHUN 2022