Yth. Sdr. Achmad Faisal
Sebelum menjawab tiga pertanyaan dari saudara Achmad Faisal pada tanggal 20 Juni 2017, MK menjawab bahwa setiap pertanyaan dari masyarakat terkait MK dapat dilakukan melalui website resmi ini. Terkait Putusan MK Nomor 115/PUU-VII/2009, Mahkamah memberikan beberapa Pertimbangan Hukum yang intinya sebagai berikut.
1. Menurut UU 13/2003 hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha di samping tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga tunduk pada perjanjian kerja yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha atau perjanjian kerja bersama (PKB) yang dibuat oleh dan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dengan demikian, keberadaan suatu PKB sangat menentukan dan mengikat nasib seluruh pekerja yang ada dalam suatu perusahaan.
2. Keberadaan sebuah serikat pekerja/serikat buruh yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam sebuah perusahaan menjadi tidak bermakna dan tidak bisa mencapai tujuannya dalam sebuah perusahaan serta tidak dapat memperjuangkan haknya secara kolektif sebagaimana tujuan pembentukannya, apabila serikat pekerja/serikat buruh tersebut sama sekali tidak memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi, memperjuangkan hak, kepentingan serta melindungi anggotanya karena tidak terlibat dalam menentukan PKB yang mengikat seluruh pekerja/buruh dalam perusahaan. PKB adalah suatu perjanjian yang seharusnya mewakili seluruh aspirasi dan kepentingan dari seluruh buruh/pekerja baik yang tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota mayoritas maupun serikat pekerja yang memiliki anggota tidak mayoritas. Mengabaikan aspirasi minoritas karena dominasi mayoritas adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip negara berdasarkan konstitusi yang salah satu tujuannya justru untuk memberikan persamaan perlindungan konstitusional, baik terhadap mayoritas maupun aspirasi minoritas.
3. Agar memenuhi prinsip keadilan dan keterwakilan secara proporsional, selain perwakilan dari serikat pekerja yang anggotanya meliputi lebih 50% (lima puluh perseratus) dari semua pekerja dalam suatu perusahaan, harus juga ada perwakilan dari pekerja atau serikat pekerja lainnya yang dipilih dari dan oleh pekerja atau serikat pekerja di luar dari yang anggotanya meliputi 50% (lima puluh perseratus) secara proporsional.
4. UU 13/2003 tidak melarang dalam satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 21, Pasal 116 ayat (1), dan Pasal 119 ayat (1) UU 13/2003. Penggunaan kata “beberapa”berarti lebih dari satu, sehingga PKB dapat dibuat antara beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha.
5. Mahkamah tidak menentukan jumlah minimal dan maksimal keanggotaan serikat pekerja/buruh. Menurut Mahkamah, penentuan jumlah mayoritas dengan persentase di atas 50% dapat menghilangkan hak-hak pekerja/buruh untuk terwakili dalam perjanjian kerja bersama yang dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang mewakilinya dengan pengusaha. Penentuan jumlah persentase keterwakilan harus pula disesuaikan atau setidak-tidaknya ditentukan secara proporsional dengan Undang-Undang yang terkait mengenai keterwakilan tersebut dengan batas jumlah maksimal.
6. Untuk memenuhi prinsip-prinsip konstitusi dan menghindari pelanggaran hak-hak konstitusional yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, yaitu untuk memenuhi prinsip keadilan proporsional, menjamin dan melindungi hak serikat pekerja/serikat buruh, serta hak-hak pekerja/buruh yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, maka seluruh serikat pekerja/serikat buruh yang ada dalam satu perusahaan berhak terwakili secara proporsional dalam melakukan perundingan dengan pengusaha.
Jawaban terhadap pertanyaan Nomor 1 dan 2. Adanya hak berserikat dan berkumpul dijamin oleh UUD 1945 dan para serikat perkerja/serikat buruh berhak terwakili secara proporsional dalam melakukan perundingan dengan pengusaha serta mengingat substansi dari PKB itu sendiri, namun jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam suatu perusahaan harus dibatasi secara wajar atau proporsional yaitu maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan, agar tidak berkelebihan mendorong timbulnya serikat pekerja/serikat buruh yang tidak proporsional yang dapat menghambat terjadinya kesepakatan dalam perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha. Pembatasan tersebut dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Jawaban pertanyaan Nomor 3.
Pasal 47 UU MK menyatakan “Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.” Sejak Putusan ini diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yakni tanggal 10 November 2010 maka saat itu pula Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap yang amar putusannya:
- menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
- menyatakan Pasal 120 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang:
i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh”, dan
ii) ketentuan tersebut dalam angka (i) dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
- menyatakan Pasal 120 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang:
i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, tidak dihapuskan, dan
ii) ketentuan tersebut tidak dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”.
Sejak pengucapan sebagaimana dimaksud di atas dan pemuatan dalam Berita Negara Republik Indonesia, maka pemerintah termasuk Kementerian Ketenagakerjaan wajib tunduk pada Putusan tersebut.
Untuk perselisihan hubungan industrial dapat melihat definisinya pada Pasal 1 angka 22 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Terima kasih