- Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)
Dasar hukum Pengujian Formil yaitu Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945. Dalam Pasal 1 angka 3 UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa : “Undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden”.
Pengujian formil mengenai pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 telah diputus dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 perkara pengujian formil UU Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap UUD 1945.
Terdapat beberapa hal dalam putusan tersebut terkait pengujian formil, yaitu:
1) Dalam uji formil UU terhadap UUD 1945 yang menjadi ukuran adalah formalitas pembentukan UU, yang meliputi:
- Institusi atau lembaga yang mengusulkan dan membentuk UU;
- Prosedur persiapan sampai dengan pengesahan UU yang meliputi rencana dalam proglenas, amanat Presiden, tahap-tahap yang ditentukan dalam Tata Tertib DPR, serta kuorum DPR;dan
- Pengambilan keputusan, yaitu menyetujui secara aklamasi atau voting, atau tidak disetujui sama sekali.
2) Pengujian formil mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pengujian materiil, oleh karenanya persyaratan legal standing yang telah diterapkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian materiil tidak dapat diterapkan begitu saja untuk pengujian formil. Syarat legal standing dalam pengujian formil UU, yaitu bahwa Pemohon mempunyai hubungan pertautan langsung dengan UU yang dimohonkan.
3) Dalam hal cacat prosedural dalam pembentukan UU yang diajukan permohonan pengujian, namun demi asas kemanfaatan hukum, UU yang dimohonkan tersebut tetap berlaku.
4) Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;
Perkembangan pengujian formil dalam praktik menyebabkan kategori pengujian formil tidak hanya mencakup pengujian atas proses pembentukan UU. Dalam Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diatur asas-asas yang merupakan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga merupakan alat untuk melakukan pengujian formal, yaitukejelasan tujuan, kelembagaan atau organ npembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Perkembangan pengujian formal mencakup pula pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Hal itu diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005 yang berbunyi sebagai berikut: “Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Permohonan pengujian formil dapat diajukan bersamaan dengan pengujian materiil. Contoh perkara yang mengajukan permohonan pengujian formal dan pengujian materiil sekaligus, dan dalam pengujian formalnya selain karena proses pembentukannya, juga karena UU yang diajukan permohonan mengandung cacat hukum karena dalam pembentukannya diduga telah terjadi tindak pidana penyuapan (walaupun kemudian dalam perbaikan permohonannya, Pemohon menarik dalil tersebut), adalah Putusan Perkara Nomor 009-014/PUU-III/2005 perihal Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terhadap UUD 1945.
- Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Dasar hukum Pengujian Formil yaitu Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pengujian Materiil diatur lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005 yang berbunyi sebagai berikut: “Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.24 Tahun 2003 diatur mengenai pengujian materil pada ayat, pasal, dan/atau bagian UU, dan dalam Pasal 57 UU MK juga diatur bahwa putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan tentang ayat, pasal, dan/atau bagian UU, akan tetapi dalam hal salah satu pasal atau pasal-pasal tertetntu tersebut menyebabkan UU secara keseluruhan tidak dapat dilaksanakan karenanya, maka tidak hanya pada ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dinyatakan bertentangan dengan UUD, akan tetapi keseluruhan UU tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD.
Contoh putusan berkaitan dengan hal tersebut adalah dalam Putusan Nomor 11/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan serta pada Putusan perkara Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 perihal Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap UUD 1945.