RASIONALITAS PUTUSAN NOMOR 46/PUU-VIII/2010
TENTANG
ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN
PERSPEKTIF ALAMIAH DAN KONSTITUSIONALITAS
- Setiap kelahiran, secara alamiah, pasti didahului oleh adanya kehamilan seorang perempuan sebagai akibat terjadinya pembuahan (pertemuan ovum dengan spermatozoa) melalui hubungan seksual dengan seorang laki-laki atau melalui rekayasa teknologi;
- Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran anak tersebut harus bertanggungjawab “... atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” [vide Pasal 28B ayat (2) UUD 1945];
- Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen perlindungan normatif negara kepada warga negara dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di dalam masyarakat [vide Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945]. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan tidak boleh meniadakan tanggung jawab seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan lahirnya anak tersebut sebagai bapak dan ibunya. Tanggung jawab tersebut melekat pada keduanya (laki-laki dan perempuan), bukan hanya pada salah satunya;
- Kesengajaan meniadakan tanggung jawab, khususnya dari laki-laki, merupakan pembenaran oleh negara atas ketidakadilan hukum terhadap anak dan sekaligus pembiaran terjadinya kesewenang-wenangan terhadap seorang perempuan yang harus bertanggung jawab sendiri terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anak dimaksud. Ketentuan yang selama ini berlaku, terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, hanya memberikan hubungan perdata dan tanggung jawab kepada ibu dan keluarga ibu adalah sesuatu yang tidak adil. Ketentuan tersebut membebankan kesalahan dan tanggung jawab hanya kepada seorang perempuan sebagai ibu;
- Setiap anak lahir dalam keadaan suci, tidak berdosa. Ia lahir bukan atas dasar kehendaknya. Terlebih lagi untuk dilahirkan dalam keadaan yang demikian. Merupakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan sosial manakala hukum memberikan stigma kepadanya sebagai “anak tanpa bapak” dan “anak tanpa ada yang bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup dan bertumbuh-kembang secara wajar dalam masyarakat melalui pendidikan”.
MAKNA HUKUM (LEGAL MEANING) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
- Putusan Mahkamah Konstitusi membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap anak dimaksud sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum (judicial) dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum di dalam masyarakat;
- Putusan ini tidak berkait dengan sah atau tidak sahnya perkawinan, tetapi hanya untuk memberikan perlindungan keperdataan kepada anak. Putusan ini juga tidak melegalkan adanya perzinaan;
- Harus dipahami bahwa antara memberikan perlindungan terhadap anak dan persoalan perzinaan merupakan dua rezim hukum yang berbeda.
PERSPEKTIF UU PERKAWINAN
- UU Perkawinan memiliki karakter khas, dalam pengertian formal merupakan hukum yang bersifat unifikasi, sehingga terdapat norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara, namun dalam pengertian materielnya merupakan hukum yang bersifat majemuk (plural), sehingga normanya diserahkan kepada agama masing-masing. Norma kuncinya terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang pada pokoknya menyatakan bahwa norma sahnya perkawinan adalah “menurut agama” yang dipeluk oleh masing-masing pasangan. Dengan demikian, terhadap akibat hukum tertentu yang terkait dengan perkawinan berlaku hukum agama masing-masing sesuai dengan perkembangan masyarakat.
RINGKASAN
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. [vide Pasal 28B:2] Hak anak tersebut dapat terpenuhi secara efektif hanya apabila subjek hukum yang berkewajiban melaksanakannya. Hukum, dalam hal ini putusan Mahkamah Konstitusi, membuka jalan bagi ditemukannya subjek hukum yang memang seharusnya memikul tanggung jawab atas kewajiban dimaksud.
Setiap anak lahir dalam keadaan suci, tidak berdosa. Anak lahir tidak atas dasar kehendaknya. Anak tidak boleh menjadi korban dan menanggung stigma sebagai anak haram, anak tanpa bapak, atau menanggung stigma apapun yang menghalangi kesederajatannya dengan anak yang lain. Kesamaan dihadapan hukum adalah prinsip negara hukum.[vide 1:3]
Seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan yang mengakibatkan kehamilan bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan dari kehamilan tersebut. Demikian pula bertemunya spermatozoa seorang laki-laki dengan indung telor seorang perempuan melalui rekayasa teknologi yang mengakibatkan kehamilan.
Implikasi hukum putusan Mahkamah Konstitusi dalam bidang hukum perkawinan dan hukum keluarga, seperti soal wali dalam perkawinan, kewarisan dan sebagainya dalam UU 1/1974 memungkinkan untuk diatur dengan hukum agama, karena UU 1/1974 secara formal unifikasi, namun secara materiel pluralis, sehingga bagi setiap agama dapat membentuk hukum bagi masing-masing pemeluknya.
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 lebih menegaskan bagaimana hubungan keperdataan anak dengan Bapak.
Secara norma bahwa keperdataan hubungan Ibu dan anak sudah diatur UU yaitu Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak.
Kalau kasusnya dibalik, apabila Bapak mengakui anak dan Ibu tidak mengakui anak, maka bahwa seseorang tidak boleh menderita karena perbuatan orang lain. Setiap anak manusia yang lahir haruslah jelas statusnya dan mendapatkan perlindungan hukum hak-hak asasinya sebagai seorang manusia. oleh karena itu, apabila ada sengketa terkait pengakuan terhadap anak maka dapat dilakukan berdasarkan pembuktian dg perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Demikian yang dapat saya diskusikan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Salam,
P4TIK - MKRI