JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (20/2/2020). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Sri Rahayu menegaskan bahwa Pemohon bukanlah subjek dari UU PPMI yang memiliki kewenangan melaksanakan penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri. Hal ini dikarenakan dalam ketentuan Pasal 49 UU PPMI secara tegas menyebutkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan melaksanakan penempatan pekerja migran Indonesia ke luar negeri. Di samping itu menurut DPR, Pemohon merupakan badan hukum privat, sehingga tidak memiliki hak yang sama sebagai warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 UUD 1945.
Selanjutnya DPR menanggapi dalil Pemohon terkait Pasal 33 UUD 1945. DPR berpendapat, Pemohon tidak teliti dalam membaca pasal tersebut.
“Pasal tersebut tidaklah mengandung norma memberikan hak konstitusional kepada setiap warga negara. Namun pasal tersebut adalah dasar hukum bagi arah kebijakan dalam menyelenggarakan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Sehingga dalil Pemohon menjadi tidak beralasan hukum,” tegas Sri kepada Majelis Hakim MK yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Selain itu, DPR juga menanggapi dalil Pemohon terkait Pasal 54 ayat (3) UU PPMI. Pemohon merasa dirugikan karena tidak mampu untuk berusaha lagi akibat keadaan tertentu, menteri sewaktu-waktu dapat mengubah besar deposito dan besar modal disetor.
“Pasal tersebut adalah ketentuan delegasi yang diberikan pembentuk undang-undang kepada menteri, dalam keadaan tertentu dapat meninjau besar modal disetor dan jaminan dalam bentuk deposito. Hal ini dikarenakan nilai atau jumlah tersebut bersifat fluktuatif, sehingga selalu perlu ditinjau oleh menteri melalui peraturan yang lebih teknis,” urai Sri.
Sementara kuasa hukum Pemerintah, Aris Wahyudi mempertanyakan kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik, khusus, aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi. Menurut Pemerintah, tidak terdapat kerugian konstitusional yang diderita oleh Pemohon. Alasan Pemerintah, tidak ada hubungan kausalitas antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 82 huruf a, Pasal 85 huruf a UU PPMI.
“Karena pada dasarnya pasal-pasal a quo mengatur mengenai persyaratan bagi perusahaan penempatan tenaga kerja migran Indonesia yang ingin memperoleh surat izin perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia dan mengatur sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja menempatkan calon pekerja migran Indonesia pada jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja,” papar Aris.
Selain itu, menurut Pemerintah, dalil-dalil Pemohon tidak jelas, terutama dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional Pemohon sebagai sebuah badan hukum perkumpulan secara konkret, spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi.
Kemudian terkait tuntutan provisi Pemohon terhadap Pasal 54 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU PPMI agar ditunda berlakunya, menurut Pemerintah, adalah tidak jelas dan tidak berdasar. “Tidak ada istilah penundaan berlakunya suatu norma berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” jelas Aris.
Aris melanjutkan, Pemerintah bersama dengan DPR telah membentuk UU PPMI yang bertujuan melindungi calon pekerja migran dan pekerja migran Indonesia dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Baca Juga:
Modal yang Harus Disetor P3MI Dinilai Memberatkan
Pemohon Uji UU PPMI Perbaiki Permohonan
MK Tunda Sidang Pengujian UU Pelindungan Pekerja Migran
Sebagaimana diketahui, Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XVII/2019 ini adalah ASPATAKI sebagai perusahaan penempatan tenaga kerja migran Indonesia yang menguji Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU PPMI.
Pasal 54 ayat (1) huruf a dan b UU PPMI menyatakan, “Untuk dapat memperoleh SIP3MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus memenuhi persyaratan: a. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); b. menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Pasal 82 huruf a PPMI menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,- (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang dengan sengaja menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada: a. jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a”.
Sedangkan Pasal 85 huruf a PPMI menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah), setiap orang yang: a. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a”.
Pemohon merasa dirugikan dengan keberadaan pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b UU PPMI yakni tentang adanya frasa “bank pemerintah” dan jumlah Rp 5 milyar sebagai modal yang disetor serta jumlah satu milyar lima ratus juta rupiah dalam deposito yang harus sudah disetorkan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PPPMI atau P3MI). Bahwa uang sejumlah lima milyar rupiah bukanlah jumlah yang dapat dijangkau oleh setiap entitas termasuk P3MI.
Selain itu, penerapan kewajiban bagi P3MI untuk memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit lima milyar rupiah sangat jelas memberikan perlakuan yang tidak adil sementara dalam ketentuan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya menentukan minimal Rp 50 juta. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan atas ketentuan hukum yang mana yang harus lebih dahulu dijalankan dalam penempatan pekerja migran Indonesia. (Nano Tresna Arfana/ASF/NRA)