Terdakwa kasus korupsi proyek bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) yang juga menjabat sebagai General Manager Sumatera Light South PT CPI, Bachtiar Abdul Fatah mengajukan Pengujian Undang-Undang (PUU) Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sidang perdana perkara No. 18/PUU-XII/2014 itu digelar Kamis (13/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Pemohon dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Muhammad Alim menyampaikan pokok-pokok permohonan pihaknya. Maqdir menyampaikan Pemohon merasa telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 59 ayat (4) UU Pengelolaan Lingkungan Hidup menurut Pemohon memungkinkan instansi yang berwenang tidak/belum memberikan izin kepada pihak penghasil limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) untuk mengelola limbah dengan alasan-alasan tertentu. Pasal 59 ayat (4) UU Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi, “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.” Pasal 59 ayat (4) tersebut merupakan salah satu pasal yang menjerat Bachtiar yang didakwa tidak memiliki izin untuk melakukan bioremediasi.
Namun, menurut Pemohon seperti yang disampaikan Maqdir, ketentuan dalam Pasal 59 ayat (4) bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1) UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 59 ayat (1) mewajibkan setiap orang yang menghasilkan limbah B3 harus melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Dengan kata lain, ada atau tidaknya izin, penghasil limbah harus mengolah limbah B3 yang dihasilkannya bila tidak ingin dikenai sanksi pidana.
“Keberadaan kedua norma yang bersifat kontradiktif tersebut telah menciptakan situasi di mana penghasil limbah B3 yang belum memiliki izin pengolahan izin B3 misalnya dikarenakan izin tersebut sedang diurus perpanjangannya di instansi terkait, terpaksa tetap mengelola limbah B3 tersebut sebab ada ancaman pidana berdasar Pasal 53 ayat (1) juncto Pasal 103 UU PLH. Namun di sisi lain karena belum memiliki izin mengolah limbah B3 maka penghasil limbah B3 tersebut dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU PLH yang mensyaratkan adanya izin untuk mengolah limbah B3,” jelas Maqdir.
Lebih lanjut, Maqdir mengungkapkan situasi tersebutlah yang menyebabkan Bachtiar disidik dan didakwa Kejaksaan RI dengan tuduhan melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Alasannya, Bachtiar telah melakukan proyek remediasi yang dikerjakan atas tanah yang terkontaminasi minyak limbah B3 yang dihasilkan PT CPI dilakukan tanpa izin. “Kedua norma yang bersifat kontradiktif tersebut jelas telah merugikan hak konstitusional Pemohon atas kepastian hukum yang adli,” tegas Maqdir.
Dalam kesempatan itu, Maqdir juga menyampaikan petitum permohonan Pemohon yang meminta Mahkamah menyatakan Pasal 59 ayat (4) juncto Pasal 102 UU PLH bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dibatalkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, jika Mahkamah berpendapat lain mohon agar Pasal 102 UU PLH dinyatakan tidak konstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 102 UU PLH hanya dapat dikenakan sanksi pidana apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. (Yusti Nurul Agustin/mh)