Ahli waris Keraton Surakarta, Gusti Ayu Koes Isbandiyah dan Kanjeng Pangeran Eddy S Wirabhumi mengajukan gugatan atas UU Pembentukan Provinsi Jawa Tengah yang menggabungkan Surakarta masuk kedalam Provinsi Jawa Tengah.
Melalui kuasa hukumnya, Zairin Harahap, keduanya mendalilkan, UU Pembentukan Provinsi Jawa Tengah telah memberi perlakuan yang berbeda di hadapan hukum. Hal ini tampak dari digunakannya UU No.10 tahun 1950 sebagai dasar penggabungan Daerah Istimewa Yogyakarta kedalam Provinsi Jawa Tengah, sedangkan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dibuatkan Undang-Undang sendiri, yakni UU No 3 Tahun 1950.
Status Istimewa Surakarta secara yuridis diatur dalam Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 dan Surat Wakil Presiden tanggal 12 September 1949. Sebagai dasar hukum diundangkan UU No. 10 tahun 1950 adalah UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah.
“Dan sampai hari ini, belum ada satupun pasal maupun ayat dalam UU tersebut yang menyatakan penghapusan status Surakarta sebagai daerah istimewa. Dengan demikian status penetapan pemerintah tentang keistimewaan Surakarta masih sah dimata hukum,” urai Harahap di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Arief Hidayat pada Rabu (26/6/2013).
Pihak Pemohon menyayangkan sikap pemerintah pusat yang mengingkari status keistimewaan Surakarta, dengan “mensejajarkan” Surakarta sama dengan daerah-daerah lain, seperti Semarang, Pati, Pekalongan, Banyumas dan Kedu dengan menggabungkan seluruhnya kedalam Provinsi Jawa Tengah. Seharusnya menurut Pemohon, status istimewa Surakarta menjadikan Surakarta berbeda, sebagaimana status Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pemohon perkara teregistrasi dengan No. 63/PUU-XI/2013 ini dalam tuntutan atau petitumnya meminta MK menyatakan inkonstitusional dan tidak mengikat bagian “Memutuskan” angka I UU No.10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Tengah sepanjang mengenai kata-kata “dan Surakarta” dan Pasal 1 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “dan Surakarta”. (Juliette/mh)