Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan perkara No. 12/PUU-XI/2013 dan No.15/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (9/4). Mahkamah dalam amar putusannya menyatakan menolak seluruh permohonan Para Pemohon pada dua perkara tersebut.
Kedua perkara tersebut dimohonkan oleh Noorwahidah dan Zainal Ilmi (No.12/PUU-XI/2013) serta Muslim Kasim (Wakil Gubernur Sumatera Barat), M. Shadiq Pasadigoe (Bupati Tanah Datar), Syamsu Rahim (Bupati Solok), dan Nasrul Abit (Bupati Pesisir Selatan) selaku Pemohon Perkara No.15/PUU-XI/2013. Terhadap permohonan Para Pemohon tersebut, Mahkamah dalam konklusi/kesimpulannya menyatakan dalil-dalil serta pokok permohonan Pemohon No.12/PUU-XI/2013 dan 15/PUU-XI/2013 tidak beralasan menurut hukum.
“Konklusi. Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan diatas, Mahkamah berkesimpulan Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo, Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Ketua MK M. Akil Mochtar membacakan konklusi putusan Perkara No. 15/PUU-XI/2013.
Karena dalil-dalil dan pokok permohonan Para Pemohon kedua perkara tersebut tidak terbukti menurut hukum, Mahkamah menyatakan menolak seluruh permohonan Para Pemohon. “Amar Putusan. Mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Anwar Usman, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Maria Farida Indrati, masing-masing sebagai Anggota pada hari Kamis, tanggal 28 Maret 2013,” ujar Akil yang didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya membacakan hasil rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk perkara No. 12/PUU-XI/2013.
Mengenai syarat mundur bagi PNS menurut Mahkamah, ketika seseorang telah memilih untuk menjadi PNS dia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan, sehingga ketika mendaftarkan diri dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme Pemilu (DPD), maka UU dapat menentukan syarat-syarat yang di antaranya dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS sesuai dengan sistem politik dan ketatanegaraan yang berlaku saat ini. “Kewajiban mengundurkan diri menurut undang-undang bagi PNS yang akan ikut pemilihan anggota DPD tersebut bukanlah pelanggaran hak konstitusional,” terang Mahkamah mengutip kembali pertimbangan putusan MK yang lalu mengenai pengunduran diri PNS yang maju sebagai calon anggota DPD.
Mengenai mundur dari kepala daerah, Mahkamah berpendapat, baik kepala daerah atau wakil kepala daerah maupun anggota DPR, DPD dan DPRD tetap sama-sama diberi kesempatan dan mendapatkan jaminan serta pengakuan untuk diperlakukan sama di dalam hukum dan pemerintahan. Hanya prosesnya yang berbeda karena kondisi atau kualifikasi kedua jabatan tersebut berbeda. Oleh karenanya ketentuan mengenai pengunduran diri kepala daerah atau wakil kepada daerah yang mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPD, atau DPRD tidak berkaitan dengan pelanggaran terhadap prinsip kesamaan di hadapan hukum dan pemerintahan yang ditentukan dalam konstitusi.
Jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah dengan jabatan anggota legislatif menurut Mahkamah, tidak harus diperlakukan sama, walaupun sama-sama jabatan politik yang dipilih melalui Pemilu. Karena terdapat perbedaan, antara lain jabatan kepala daerah adalah jabatan tunggal, berbeda dengan anggota legislatif yang kolektif. “Lagi pula kewenangan DPR, DPD, dan DPRD tidak menjalankan fungsi pemerintahan sehari-hari, melainkan hanya sebatas membuat kebijakan serta mengontrol pelaksanaan kebijakan secara umum. Di samping itu, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD, tanpa mengundurkan diri dari jabatannya, berpotensi menyalahgunakan jabatannya, atau paling tidak mempunyai posisi yang lebih menguntungkan atau posisi dominan dibandingkan calon yang tidak sedang menduduki jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah, sehingga justru menimbulkan ketidakadilan bagi calon yang lain,” tegas Mahkamah dalam putusan No. Nomor 15/PUU-XI/2013.
Dalam pendapat MK, tidak dapat disamakan pula dengan kepala daerah yang tidak harus mengundurkan diri jika mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala untuk periode kedua atau untuk jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah di daerah yang lain. “Menurut Mahkamah, pembedaan tersebut masih proporsional,” sambung Mahkamah. Tidak ada perlakuan
diskriminatif dari pasal yang dimohonkan pengujian, karena diskriminatif terkait dengan perlakuan berbeda karena perbedaan suku, agama, jenis kelamin, ras serta warna kulit atau atas dasar apapun.
Harus Mengundurkan Diri
Untuk dipahami, sebelumnya Pemohon Perkara No. 12/PUU-XI/2013 yakni Noorwahidah dan Zainal Ilmi yang menjabat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Agama Republik Indonesia merasa dirugikan hak dan kewenangan konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 12 huruf k, Pasal 68 ayat (2) huruf h UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Pasal-pasal tersebut merugikan Para Pemohon karena mengharuskan PNS mengundurkan diri dari status kepegawaiannya yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali bila ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD. “Bahwa frasa pegawai negeri sipil dan anak kalimat yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf k, Pasal 68 ayat (2) huruf h UU Pemilu sangat merugikan Pemohon karena pasal tersebut telah menghilangkan hak konstitusional dan menutup rapat-rapat kesempatan bagi Pemohon,” papar Kuasa Hukum Pemohon No. 12/PUU-XI/2013, Saleh pada persidangan pendahuluan, Jumat (1/2).
UU tersebut oleh Pemohon dianggap telah menghilangkan sama sekali hak konstitusional Para Pemohon yang ingin menjadi peserta pemilu anggota DPD. Padahal, sebagai PNS Pemohon memiliki hak yang sama seperti warga negara lainnya sesuai perintah Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dalam permohonannya Para Pemohon meminta agar PNS yang mendaftarkan diri sebagai anggota DPD seharusnya tidak perlu mengundurkan diri secara tetap dan tidak dapat ditarik kembali. Dengan kata lain, Pemohon meminta syarat mengikuti Pemilu anggota DPD diubah menjadi mengundurkan diri sementara dari jabatan PNS.
Sementara itu Pemohon No. 15/PUU-XI/2013 yang kesemuanya adalah kepala daerah merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 12 huruf K, Pasal 51 ayat (1) huruf K ayat (2) dan huruf H, serta Pasal 68 ayat (2) huruf k UU tersebut. Keempat Pemohon Perkara No. 15/PUU-XI/2013 merasa dirugikan karena hak-haknya untuk menjadi caleg dibatasi. Dalam Pasal 12 huruf k UU itu disebutkan bahwa yang harus mengundurkan diri antara lain adalah kepala daerah, wakil kepala daerah, dan pegawai negeri sipil. Pemohon menilai pasal tersebut diskriminatif karena jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan politik yang tidak bisa disamakan dengan jabatan negera yang dibiayai APBN dan APBD.
“Ketentuan pasal-pasal yang kami ajukan untuk diuji bersifat diskriminatif. Jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan politik karena diperoleh dengan proses politik. Seharusnya antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang juga memangku jabatan politik diperlakukan sama saat mencalonkan diri sebagai caleg, tapi ini tidak diberlakukan sama,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Khairul Fahmi pada sidang pendahuluan perkara No. 15/PUU-XI/2013 Selasa (29/1).
Dengan adanya putusan MK ini, baik PNS maupun kepala daerah yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tetap harus mengundurkan diri dengan menyatakan menggunakan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali. (Yusti Nurul Agustin/mh)