Jakarta, Seruu.com - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang berada di sekolah-sekolah pemerintah mendapat apresiasi oleh DPR.
Menurut anggota komisi pendidikan (X) DPR Zulfadhli, keputusan tersebut merupakan keputusan yang sangat tepat. Sebab menurut penilaiannya, keberadaan RSBI selama ini cenderung memperlakukan siswa didik secara diskriminatif. Sebagai fakta, RSBI didominasi oleh siswa yang berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah keatas.
"Ini tentu perlakuan diskriminasi terhadap siswa yang berasal dari keluarga menengah ke bawah, yang sama-sama membutuhkan pendidikan yang berkualitas," kata Zulfadhli melalui pesan singkatnya, Jakarta, Rabu (9/1/2013).
Karena hal itu, menurut dia, anggaran yang tadinya diperuntukkan guna bantuan yang dialokasikan untuk RSBI pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013, sebaiknya dialokasikan ulang untuk bantuan sekolah model atau sekolah rujukan yang sedang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang berada di sekolah-sekolah pemerintah. MK memutuskan RSBI bertentangan dengan UUD 1945 dan bentuk liberalisasi pendidikan. Hal tersebut diungkapkan Ketua MK Mahfud MD dalam pembacaan putusan mengenai RSBI di Gedung MK, Jakarta.
"Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Mahfud dalam sidang terbuka untuk umum di Gedung MK, jalan Medan Merdeka barat, Jakarta, Selasa (8/1).
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat sekolah bertaraf internasional di sekolah pemerintah itu bertentangan dengan UUD 1945. MK juga menilai RSBI menimbulkan dualisme pendidikan. "Ini merupakan bentuk baru liberalisasi dan berpotensi menghilangkan jati diri bangsa dan diskriminasi adanya biaya yang mahal," tandas Mahfud.
Seperti diketahui, para orang tua murid dan aktivis pendidikan menguji pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas karena tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI/SBI ini lantaran mahal. Mereka adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan).