Terima kasih atas pertanyaan Sdr. Zaka Firma Aditya. Berikut ini disampaikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Terhadap pertanyaan (1), apakah dasar hukum MK membuat putusan yang diberlakukan secara retroaktif dalam perkara pengujian undang-undang, dapat dijawab bahwa sebetulnya hal tersebut dapat dibaca dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 110-111-112-13/PUU-VII/2009 tanggal 7 Agustus 2009 dalam perkara pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945. Pertimbangan tersebut tercantum pada Paragraf [3.34] halaman 106-108. Artinya, MK mengakui dan memahami adanya larangan mengeluarkan putusan yang bersifat retroaktif. Namun secara khusus, dalam putusan tersebut, MK mempertimbangkan mengapa mengeluarkan putusan yang bersifat retroaktif.
Pada intinya, MK menegaskan Putusan 110-111-112-13/PUU-VII/2009 tersebut bersifat retroaktif atau berlaku surut. Artinya, putusan tersebut bisa digunakan untuk penghitungan tahap kedua pemilu anggota lembaga perwakilan tahun 2009. MK mengesampingkan dua ketentuan yang mengatur daya laku dan daya ikat putusan MK, yaitu Pasal 58 UU MK menyebutkan "Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945" dan Pasal 39 PMK Nomor 6 Tahun 2005 berbunyi "Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum".
Menurut MK, memutus putusan yang bersifat retroaktif merupakan diskresi para hakim konstitusi. Bagi MK, prinsip non-retroaktif akibat hukum satu Putusan MK bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, sebagaimana juga secara tegas dimuat dalam UU MK berbagai negara yang memiliki MK. Untuk bidang Undang-Undang tertentu, pengecualian dan diskresi yang dikenal dan diakui secara universal dibutuhkan karena adanya tujuan perlindungan hukum tertentu yang hendak dicapai yang bersifat ketertiban umum (public order). Terlebih lagi dalam putusan yang bersifat memberi tafsiran tertentu sebagai syarat konstitusionalitas satu norma (interpretative decisions), putusan demikian secara alamiah harus selalu berlaku surut terhitung sejak diciptakannya peraturan perundang-undangan yang ditafsirkan tersebut, karena memang dimaksudkan merupakan makna yang diberikan dan melekat pada norma yang ditafsirkan.Tanpa keberlakuan surut demikian, maka tujuan perlindungan konstitusional kepada warga negara tidak akan tercapai, sebagaimana menjadi maksud konstitusi dan hukum yang berlaku. Jadi dasar hukum MK memutus putusan yang bersifat retoraktif adalah konstitusi atau UUD 1945 itu sendiri yang memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara.
Untuk pertanyaan (2), bagaimana dengan akibat yang ditimbulkan dari Putusan MK yang bersifat retroaktif, dalam hal bidang Undang-Undang tertentu sebagaimana dikemukakan pada jawaban pertanyaan pertama, putusan yang berlaku secara retroaktif justru memberikan keadilan dan perlindungan konstitusional bagi Pemohon sebagaimana yang didalilkannya dalam permohonan. Apabila Putusan MK tidak bersifat retroaktif, Putusan MK justru tidak ada gunanya bagi Pemohon. Sebab, bila putusan berlaku prospektif, maka kerugian konstitusional para Pemohon tidak dipulihkan.
Pertanyaan (3), apakah Putusan MK yang berlaku secara retroaktif juga ada dalam praktik MK di negara lain? Putusan yang bersifat retroaktif dapat dijumpai dalam putusan-putusan MK Federal Jerman terkait dengan perkara-perkara, baik pengujian undang-undang maupun constitutional complaint, yang terkait dengan pajak. Putusan demikian diambil MK Federal Jerman untuk dapat memulihkan kerugian konstitusional Pemohon sebagai Pembayar Pajak.
Demikian jawaban yang dapat diberikan, mudah-mudah dapat membantu dan bermanfaat.