Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan dalam pengujian Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan yang dimohonkan oleh Halimah Agustina. “Dalil Pemohon tidak beralasan hukum,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, saat membacakan amar putusan perkara nomor 38/PUU-IX/2011, Selasa (27/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Halimah adalah mantan isteri Bambang Trihatmodjo, putra mantan Presiden Soeharto.
Ketentuan yang diuji dalam UU Perkawinan tersebut adalah Pasal 39 ayat (2) terutama dalam penjelasan huruf f-nya. Pasal ini berbunyi: ”Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.”. Sedangkan dalam penjelasannya menyebutkan, “Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:… f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.”
Mahkamah berkesimpulan, sepanjang frasa, “Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran ...” justru memberikan salah satu jalan keluar ketika suatu perkawinan tidak lagi memberikan kemanfaatan karena perkawinan sudah tidak lagi sejalan dengan maksud perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU Perkawinan serta tidak memberikan kepastian dan keadilan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Dalil Pemohon tersebut tidak tepat dan tidak benar karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tersebut merupakan ketentuan mengenai affirmative action, sedangkan kedudukan suami dan istri dalam perkawinan menurut UU 1/1974 adalah seimbang, sehingga tidak memerlukan perlakuan khusus semacam affirmative action,” tegas Mahkamah dalam putusannya.
Menurut Mahkamah, perkawinan di dalam UU Perkawinan memiliki dimensi hukum, dimensi kehidupan batin, dimensi kemasyarakatan, dan dimensi keagamaan. Bahwa dimensi kehidupan batin orang, yang dalam perkawinan berupa cinta dan kasih, merupakan keadaan yang sangat dinamis. Dengan kata lain, dimensi kehidupan tersebut bisa berupa ‘madu’ yang manis dan menyehatkan, namun bisa pula menjadi ‘racun’ yang berakibat buruk dalam sebuah hubungan perkawinan. “Dapat menjadi ‘hama’ yang senantiasa menggerogoti cinta dan kasih dan mengubahnya menjadi permusuhan dan kebencian (al-adawah wa al baghdha`)” ungkap Mahkamah dalam pendapat hukumnya.
Selanjutnya, sambung Mahkamah, ketika terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus di antara pasangan suami istri sulit diharapkan untuk bersatu kembali. “Dalam keadaan seperti itu maka ikatan batin dalam perkawinan dianggap telah pecah (syiqaq, broken marriage), meskipun ikatan lahir, secara hukum, masih ada,” ungkap Mahkamah.
Dalam kondisi perkawinan seperti itulah, secara rasional, kata Mahkamah, telah tidak bermanfaat lagi bagi kedua belah pihak maupun bagi keluarga. Bahkan dalam kasus tertentu dapat membahayakan keselamatan masing-masing pihak maupun keluarga. Dalam keadaan yang demikian, hukum harus memberikan jalan keluar untuk menghindari keadaan buruk yang tidak diinginkan. Dalam konteks ini, jalan keluar itu adalah pembubaran perkawinan yang di dalam UU Perkawinan disebut dengan putusnya perkawinan yang ketika kedua belah pihak masih hidup, yaitu putusnya perkawinan dengan perceraian atau dengan putusan pengadilan. “Putusan pengadilan hanya menyatakan keadaan yang sesungguhnya tentang hubungan suami istri dimaksud,” Mahkamah mengingatkan.
Seharusnya Dikabulkan
Dalam putusan ini, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar. Pada intinya, menurut dia, Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Dengan dikabulkannya permohonan maka peraturan pelaksana Undang-Undang Perkawinan yang terkait dengan alasan perceraian karena adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf f dan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga harus dinyatakan inkonstitusional,” tutur Akil. “Akan tetapi, dikabulkannya permohonan Pemohon tidak menghapuskan lembaga syiqaq karena didasarkan dan diatur dalam Undang-Undang yang berbeda yaitu Undang-Undang Peradilan Agama.”
Menurut Akil, ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip yang dianut oleh UU Perkawinan, yaitu ‘prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian’ demi mengukuhkan tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum UU Perkawinan. Dia berpandangan, ketentuan itu telah mempermudah perceraian dan berdampak buruk. “Proses perceraian seolah menjadi sangat mudah,” ujarnya.
Selain itu, menurut Akil, alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam penjelasan pasal yang diuji tersebut tidak didukung dengan peraturan pelaksana maupun perangkat hukum pendukung dalam upaya penegakan hukum perdata dalam lingkup Peradilan Umum. “Keterbatasan rincian aturan ini merugikan hak konstitusional warga negara Indonesia yang mengajukan gugatan cerai atas alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus melalui Peradilan Umum,” katanya. (Dodi/mh)