Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Outsourcing Bentuk Perbudakan Modern
Jumat, 13 Mei 2011
| 08:16 WIB
Kuasa hukum Dwi Haryanti dan Pemohon prinsipal Didik Suprijadi dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dengan agenda sidang perbaikan permohonan Rabu (11/5) di Ruang Sidang Panel Gedung MK.
Jakarta, MKOnline - Pengujian UU (PUU) No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memasuki sidang kedua dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, Rabu (11/5) pukul 14.00 wib. Yang diujikan adalah Pasal 59 ayat (1) berbunyi “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan”.
Pemohon adalah Didik Supriyadi, Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI) di Surabaya, Jatim. Dalam persidangan, kuasa hukum Pemohon memaparkan perbaikan-perbaikan permohonan. Yakni, jika sebelumnya hanya mengujikan satu pasal, yaitu Pasal 59 ayat (1) UU a quo, kali ini Pemohon menambahkan lagi pasal yang diujikan.
Yang ditambahkan adalah Pasal 64 UU 13/2003 berbunyi “perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”. “Istilah untuk Pasal 64 itu biasanya disebut dengan istilah outsourcing. Kami mengujikan pasal ini karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945,” tutur kuasa hukum Pemohon.
Perbaikan lainnya, yakni mengenai alasan pengujian yang dipandang merugikan hak konstitusional Pemohon. “Dalam hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing, buruh atau pekerja dilihat semata-mata sebagai komoditas dan barang dagangan. Buruh dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar. Tidak menutup kemungkinan anak cucu kita nanti hanya akan menjadi budak di negeri sendiri,” terang kuasa hukum Pemohon.
Hubungan kerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing juga hanya ditempatkan sebagai faktor produksi semata. “Nanti kalau tidak dibutuhkan lagi, mereka akan diputuskan kontraknya. Mereka hanya sapi perahan para pemilik modal. Padahal UUD 1945 mengatakan perekonomian disusun atas asas kekeluargaan. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan,” tambahnya.
Selain itu, Pemohon dalam perbaikannya juga menegaskan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu dan outsourcing adalah bentuk perbudakan modern. Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki menyarankan Pemohon menghadirkan Ahli yang kuat dan mempunyai pandangan luas untuk memperkuat permohonannya. (Yazid/mh)