Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan yang diajukan oleh Deden Rukman Rumaji, Eni Rif’ati, dan Iyong Yatlan Hidayat. Demikian putusan yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Abdul Mukthie Fadjar, Kamis (31/12), di Gedung MK.
"Dalil-dalil Para Pemohon tidak berdasar dan tidak beralasan hukum," ucap Mukthie dalam sidang perkara Nomor 114/PUU-VII/2009.
Pasal yang diajukan Para Pemohon adalah pengujian konstitusional in casu Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 259 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang mengatur mengenai pembatasan pengajuan permohonan sengketa hasil pemilihan umum (pemilu) selama 3 x 24 jam kepada MK. "Pasal a quo merupakan salah satu mekanisme dalam tahapan Pemilu yang semata-mata didasarkan untuk kelancaran tahapan Pemilu berikutnya yang pada akhirnya berkaitan pula dengan agenda ketatanegaraan," ujar Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi.
Akan tetapi, Arsyad menjelaskan bahwa pembatasan pengajuan selama 3 x 24 jam memang dapat dirasa memberatkan bagi peserta Pemilu ketika hendak mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu kepada MK. "Hal tersebut karena sistem Pemilu, kondisi geografis, dan tingkat pemahaman serta patisipasi pemilih di Indonesia yang masih belum memungkinkan dilaksanakannya tahapan Pemilu secara efektif dan efisien seperti yang diterapkan oleh negara-negara maju," katanya.
Namun demikian, lanjut Arsyad, hal tersebut bukanlah menyangkut konstitusionalitas suatu norma karena pengaturan pembatasan pengajuan permohonan selama 3 x 24 jam tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip dan prinsip non-diskriminasi.
Sedangkan sepanjang petitum para Pemohon yang meminta agar Pasal 74 ayat (3) UU MK harus dibaca bahwa hal tersebut tidak menghalangi pemohon untuk mengajukan permohonan setelah selesainya tenggat waktu 3 x 24 jam sepanjang permohonan yang diajukan benar-benar signifikan mempengaruhi hasil Pemilu dan meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 74 ayat (3) tidak berlaku khusus bagi para Pemohon, Arsyad menjelaskan bahwa MK berpendapat apabila penafsiran demikian dibenarkan oleh Mahkamah, justru akan dimanfaatkan oleh mereka yang selalu tidak puas dengan penetapan hasil Pemilu untuk selalu mengajukan permohonan keberatan hasil Pemilu kepada Mahkamah. "Sementara tahapan Pemilu dan agenda ketatanegaraan tetap harus berjalan sesuai dengan Undang-Undang. Dengan demikian, penafsiran seperti ini justru akan menciptakan ketidakpastian hukum," katanya.
Selain itu, tenggat waktu pengajuan permohonan ini telah diterapkan oleh MK sejak tahun 2004 dan terbukti tidak menghalangi para Pemohon yang ingin berperkara. "Sejak tahun 2009, permohonan perselisihan hasil pemilihan umum dapat diajukan kepada MK melalui faksimili, surat elektronik, maupun permohonan online melalui laman www.mahkamahkonstitusi.go.id," tegas Arsyad. (Lulu A)