JAKARTA, HUMAS MKRI - Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Payakumbuh Nomor Urut 1 Supardi dan Tri Venindra mendalilkan soal pelanggaran bersifat terstruktur, masif, dan sistematis (TSM) dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Walikota dan Wakil Walikota Payakumbuh 2024. Dalam hal ini, Supardi-Venindra menjadi Pemohon Perkara Nomor 60/PHPU.WAKO-XXIII/2025 yang disidang perdana dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan pada Jumat (10/1/2025) di Gedung I Mahkamah Konstitusi (MK). Persidangan perkara ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo serta didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Dalam perkara ini, Komisi Pemiliihan Umum (KPU) Kota Payakumbuh menjadi Termohon. Sedangkan untuk Pihak Terkait ialah Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Payakumbuh Nomor Urut 3, Zulmaeta dan Elzadaswarman.
Pelanggaran bersifat TSM yang didalilkan dalam perkara ini, menurut Pemohon terjadi di lima kecamatan, yakni Kecamatan Lamposi Tigo Nagori, Kecamatan Payakumbuh Barat, Kecamatan Payakumbuh Selatan, Payakumbuh Timur dan Payakumbuh Utara. Adapun bentuk pelanggaran TSM yang dimaksud, dilakukan dengan cara mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) para pemilih.
Setelah itu, mereka diberikan masing-masing selembar "Surat Mandat." Selain Surat Mandat, menurut Pemohon, para pemilih tersebut juga diberikan Kartu Tanda Anggota (KTA) Partai Demokrat dan KTA Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pemohon mengatakan bahwa pemberian Surat Mandat itu dimaksudkan agar seolah-olah mereka yang telah didata akan dijadikan saksi mandat pada tempat pemungutan suara (TPS).
"Sejatinya Surat Mandat dan Kartu Tanda Anggota partai ini hanyalah semacam upaya untuk mengelabui Bawaslu, seolah-olah uang yang diberikan bukanlah money politic, melainkan uang saksi mandat dan anggota partai," ujar Kuasa Hukum Pemohon, Rivaldi saat membacakan dalil permohonan di persidangan.
Terkait hal tersebut, Pemohon mengklaim sudah melaporkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Payakumbuh. Versi Pemohon, pada hari pemilihan, Kantor DPC Demokrat sudah berbaris ratusan masyarakat yang menunggu pembagian uang. Kemudian kantor tersebut didatangi Bawaslu.
Saat itu, Pemohon menyampaikan bahwa Bawaslu Payakumbuh langsung melakukan penangkapan. Peristiwa itu pun kemudian diproses secara hukum hingga naik ke tahap penyidikan di Kepolisian.
"Dan kemudian ini di SP3, Yang Mulia, karena si tersangkanya kabur," ujar Rivaldi.
Dalam dalil permohonannya, Pemohon menyebut bahwa besaran uang yang dibagikan untuk hal ini bervariatif, dari Rp 50 ribu hingga Rp 300 ribu. "Pemberian uang hampir di seluruh 5 kecamatan kota Payakumbuh, baik uang sejumlah 50 ribu sampai 300 ribu," katanya.
Dari dalil permohonan yang disampaikan ini, Pemohon menyampaikan petitum, meminta agar Majelis Hakim Konstitusi membatalkan Keputusan KPU Kota Payakumbuh Nomor 636 Tahun 2024 Tentang Penetapan Hasil Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Payakumbuh Tahun 2024. Kemudian Pemohon juga dalam petitumnya meminta agar Majelis mendiskualifikasi Pihak Terkait dan memerintahkan Termohon untuk melakukan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Payakumbuh.
"Selambat-lambatnya tiga bulan sejak Putusan Mahkamah dibacakan, tanpa mengikutsertakan Pasangan Calon Nomor Urut 3 atas nama Zulmaeta dan Elzadaswarman," ujar Kuasa Hukum Pemohon, Ridwan Bakar.
Baca juga tautan: Perkara Nomor 60/PHPU.WAKO-XXIII/2025
Penulis: Ashri Fadilla.
Editor: N. Rosi.