JAKARTA, HUMAS MKRI - Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Nomor Urut 3 Indira Yusuf Ismail-Ilham Ari Fauzi A Uskara mendalilkan pelanggaran secara terstruktur dan sistematis yang menyulitkan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pilwalkot Makassar. Anomali ini ditandai dengan banyaknya pemilih dalam satu kartu keluarga (KK), tetapi memilih pada tempat pemungutan suara (TPS) yang berbeda-beda.
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 218/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dilaksanakan Panel 3 yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh pada Jumat (10/1/2025). Pilwalkot Kota Makassar sendiri diikuti empat pasangan calon, yakni pasangan calon nomor urut 1 Munafri Arifuddin- Aliyah
Mustika (319.112 suara), pasangan calon nomor urut 2 atas nama Andi Seto Gadhista Asapa- Rezki Mulfiati Lutfi (162.427 suara), pasangan calon nomor urut 3 Indira Yusuf Ismail-Ilham Fauzi Ari A Uskara (81.405 suara), dan pasangan calon nomor urut 4 Muhammad Amri Arsyid-Abd. Rahman Banda (20.247 suara).
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menilai adanya dugaan pelanggaran dengan melibatkan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang terafiliasi pada pasangan calon tertentu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar selaku Termohon yang diduga menghambat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Salah satu yang didalilkan Pemohon adalah dugaan KPU Kota Makassar menyulitkan pemilih dan menguntungkan pasangan calon tertentu dengan menentukan TPS yang berjauhan dari alamat pemilih. Termasuk menempatkan pemilih dalam satu kartu keluarga (KK) di TPS yang berbeda-beda.
”Jadi satu KK, tapi TPS-nya berbeda-beda," ujar Kuasa Hukum Pemohon, Donal Fariz di Ruang Sidang Panel 3, Gedung I MK, Jakarta.
Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari kewenangan dan tugas KPU Kota Makassar yang berwenang, bertugas, dan memiliki akses informasi dalam menyusun serta menetapkan daftar pemilih hingga ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT). KPU Kota Makassar harusnya mengacu pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 7 Tahun 2024 tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang menyebutkan, "Penyusunan Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membagi Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 600 (enam ratus) orang, dengan memperhatikan: a. tidak menggabungkan desa/kelurahan atau nama lain; b. kemudahan Pemilih ke TPS; c. tidak memisahkan Pemilih dalam 1 (satu} keluarga pada TPS yang berbeda; d. aspek geografis setempat".
KPU Kota Makassar yang menentukan TPS pemilih berjauhan dari alamat domisili, kata Kuasa Hukum, merupakan tindakan yang menyebabkan pemilih dihambat hak pilihnya, berpotensi kehilangan hak pilihnya, dan merugikan Pemohon. Ia mengacu pada Putusan Nomor 102/PUU-VIl/2009, yang pada pokoknya menyatakan bahwa sebagai hak konstitusional warga negara untuk memilih tidak boleh dihambat atau dihalangi.
Pemilih Siluman
Di samping itu, Pemohon dalam permohonannya juga menyoroti dugaan manipulasi kehadiran pemilih secara terstruktur dan sistematis melalui tanda tangan fiktif di Daftar Hadir Pemilih Tetap (DHPT). Manipulasi dilakukan dengan hadirnya "pemilih siluman" yang memberikan tanda tangan palsu di DHPT. Setidaknya, Pemohon melakukan pembandingan tanda tangan KTP dan DHPT di 32 kelurahan dan 15 kecamatan.
Dugaan pemalsuan tanda tangan ini dapat teridentifikasi dari empat hal, yakni perbedaan tanda tangan pemilih antara KTP dengan DHPT; pengakuan dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan suara yang menyatakan bahwa KPPS sendiri yang menandatangani seluruh DHPT; pengakuan dari pemilih yang hadir di TPS, tetapi tidak diminta menandatangani DHPT; dan tanda tangan yang secara kasat mata identik pada dua nama orang atau lebih yang tercantum dalam satu DHPT.
“Pola dugaan pemalsuan tanda tangan pada formulir daftar hadir ini tidaklah terjadi secara sporadik, melainkan terjadi dengan persebaran yang masif, konsisten, dan merata di 308 TPS di 153 kelurahan dan 15 kecamatan di Kota Makassar,” ujar Donal.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta MK membatalkan Keputusan KPU Kota Makassar Nomor 2080 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Tahun 2024 tertanggal 6 Desember 2024. Selanjutnya, menyatakan dan menetapkan perolehan Keputusan KPU Kota Makassar Nomor 2080 Tahun 2024 dengan hasil nihil untuk semua pasangan calon. Mahkamah juga diminta untuk memerintahkan KPU Kota Makassar melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh kecamatan dan kelurahan se-Kota Makassar; memerintahkan kepada KPU Kota Makassar untuk mengangkat Ketua dan Anggota KPPS serta Ketua dan Anggota PPK yang baru di seluruh Kelurahan dan Kecamatan di Kota Makassar; memerintahkan KPU RI dan KPU Provinsi Sulawesi Selatan untuk melakukan supervisi dan koordinasi dengan KPU Kota Makassar dalam rangka pelaksanaan amar putusan ini.
“Selanjutnya, memerintahkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum RI dan Badan Pengawas Pemilu Provinsi Sulawesi Selatan untuk melakukan supervisi dan koordinasi dengan Bawaslu Kota Makassar dalam rangka pelaksanaan amar putusan ini,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Amnasmen.
“Memerintahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia beserta jajarannya, khususnya Kepolisian Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dan Kepolisian Resor Kota Makassar beserta jajarannya, untuk melakukan pengamanan proses Pemungutan Suara Ulang dalam Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Kota Makassar sesuai dengan kewenangannya," tandas Amnasmen.(*)
Penulis: Nawir Arsyad Akbar
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan