JAKARTA, HUMAS MKRI – Perbedaan dalam hal pekerjaan yang didasarkan dengan adanya persyaratan khusus untuk suatu pekerjaan tidak serta-merta dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi. Sehingga, dengan adanya suatu persyaratan khusus yang diberikan oleh suatu instansi baik instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka mendapatkan kesempatan yang sama dalam pekerjaan dan disertai alasan yang masuk akal (reasonable ground), maka upaya dimaksud bukanlah merupakan suatu bentuk diskriminasi.
Demikian Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 159/PUU-XXII/2024 dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Dalam Putusan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Putusan dari permohonan yang diajukan oleh Hanter Oriko Sinaga ini diucapkan pada Jumat (3/1/2025).
Mahkamah menyadari bahwa keberatan Pemohon terhadap keberlakukan Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan tersebut berkaitan erat dengan kekhawatiran Pemohon yang mencoba berusaha untuk mengikuti ujian sertifikat TOEFL namun belum mendapatkan hasil yang sesuai sehingga menyebabkan Pemohon tidak dapat memenuhi persyaratan dalam pendaftaran pekerjaan baik di instansi pemerintah maupun swasta. Namun, Mahkamah juga menyadari bahwa Mahkamah tidak dapat menerima keberatan Pemohon melalui upaya penguian materiil UU Ketenagakerjaan karena sesungguhnya norma UU-nya sendiri tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
“Kebijakan demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya dan juga bukan bukan merupakan turunan dari norma UU yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Sebab norma UU-nya sendiri, sebagaimana yang telah dipertimbangkan dalam Sub-paragraf [3.14.2] tersebut di atas, adalah norma yang tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” ungkap Guntur.
Selain itu, Guntur juga menuturkan bahwa syarat penguasaan bahasa asing dalam rekrutmen kerja tidak dapat dipersalahkan karena hal tersebut merupakan langkah pengembangan diri bagi calon pekerja untuk dapat mengembangkan dirinya sebagaimana yang diejawantahkan oleh Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945. Terlebih, pemerintah juga telah memberikan program bagi pengembangan komptensi kerja yang ditujukan untuk pencari kerja.
“Terhadap hal tersebut, pemerintah sebenarnya telah memberikan program bagi pengembangan kompetensi kerja yang ditujukan untuk pencari kerja,” ucap Guntur.
Persaingan Global
Lebih jauh, Hakim Guntur Hamzah juga merujuk Putusan MK Nomor 98/PUU-XIV/2018 berkenaan dengan syarat penguasaan bahasa asing dalam rekruitmen kerja. Dalam keterangannya, Hakim Guntur Hamzah menegaskan bahwa rekruitmen kerja yang mendorong penguasaan bahasa asing tidak dapat disebut sebagai kebijakan yang salah karena melihat persaingan global dalam hubungan internasional saat ini telah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.
“Suatu kebijakan yang dimaksudkan untuk mendorong penguasaan bahasa asing karena tuntutan kebutuhan bukanlah kebijakan yang salah. Bahkan, tanpa ada kebijakan demikian pun, dengan melihat persaingan global dalam hubungan internasional saat ini, kemampuan berbahasa asing (bukan hanya Bahasa Inggris) telah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan,” sebut Guntur.
Selain itu, adanya syarat pengisian kebutuhan tenaga kerja dengan memfokuskan pada syarat kompetensi, kematangan, pengalaman dan keahlian, sebagaimana penguasaan kemampuan bahasa asing sesuai dengan prinsip minimum degree of maturity and experience. Hal tersebut memiliki kedayagunaan untuk majering para calon pekerja terbaik yang memiliki syarat kualifikasi/pengalaman guna meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, disiplin, etos kerja, dan etika.
Terlebih, syarat penguasaan bahasa asing dalam rekruitmen kerja bukan berarti menegasikan keberlakuan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi atau bahasa negara. Hal ini dikarenakan kemampuan berbahasa asing tidak menghilangkan kewajiban untuk berbahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang diatur oleh undang-undang. Artinya, penguasaan bahasa asing hanyalah nilai plus untuk menunjang kompetensi di tengah persaingan global.
“Upaya untuk menguasai bahasa asing tidak ada korelasinya dengan kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi atau bahasa negara. Kemampuan seseorang warga negara Indonesia dalam berbahasa asing tidaklah menghilangkan kewejiban yang bersangkutan untuk memperlakukan dan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara atau bahasa resmi sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” tandas Guntur.
Baca juga:
Gagal CPNS Terbentur Bahasa Asing, Pengacara Uji UU Ketenagakerjaan dan UU ASN
Ketentuan Syarat Kuasai Bahasa Asing Bagi CPNS Disebut Langgar Konstitusi
Sebelumnya, Pemohon menguji Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 37 UU UU ASN. Pemohon mendalilkan norma pasal tersebut telah menjadi dasar dan menimbulkan persyaratan kerja dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. peserta Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang diharuskan menguasai bahasa asing khususnya bahasa Inggris dengan dibuktikan adanya TOEFL sebagai persyaratan wajib dan juga ketentuan batas usia 27 tahun untuk pengisian jabatan Jaksa Ahli Pertama yang dapat menjadi peserta CPNS Tahun 2024 di instansi Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dia mengatakan pemaknaan Pasal 35 UU ASN telah membuka keran yang seluas-luasnya terhadap instansi pemerintah maupun instansi swasta dalam menetapkan persyaratan dengan sebebas-bebasnya terhadap para pencari kerja. Persyaratan yang ditentukan kemungkinan besar bersifat diskriminasi. Untuk itu, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis: Ahmad Sulthon Zainawi
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina