JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian Pasal 55 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terkait ketentuan mandi uap/spa masuk kategori jenis jasa hiburan. Namun dalam putusan ini, MK memaknai mandi uap/spa dalam pasal a quo sebagai bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional.
“Oleh karenanya, frasa ‘dan mandi uap/spa’ dalam norma Pasal 55 ayat (1) huruf l UU 1/2022 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional’,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan Putusan MK Nomor 19/PUU-XXII/2024 pada Jumat (3/1/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Menurut Mahkamah, pengklasifikasian mandi uap/spa dalam Pasal 55 ayat (1) huruf l UU HKPD yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar tidak memberikan jaminan kepastian hukum atas keberadaan mandi uap/spa sebagai jasa pelayanan kesehatan tradisional sehingga menimbulkan kekhawatiran dan rasa takut atas penggunaan layanan jasa kesehatan tradisional dimaksud. Dimasukkannya “mandi uap/spa” dalam kelompok diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar, menjadikan hal tersebut sebagai jenis tontonan, pertunjukkan, permainan, katangkasan, rekreasi atau keramaian untuk dinikmati, yang tidak sesuai dengan jasa pelayanan kesehatan tradisional sehingga menyebabkan kerugian bagi para Pemohon berupa pengenaan stigma yang negatif.
Arief menjelaskan pelayanan kesehatan tradisional memiliki landasan hukum yang jelas dan konsisten baik melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maupun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan pengaturan lebih lanjut yang tertuang dalam peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 dan PP Nomor 28 Tahun 2024. Pelayanan ini diakui sebagai bagian integral dari sistem kesehatan nasional dengan cakupan yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, hingga paliatif. Pengakuan ini menunjukkan pentingnya pelayanan kesehatan tradisional dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya dalam menjaga keberlanjutan nilai-nilai kearifan lokal. Dalam konteks ini, layanan seperti mandi uap/spa yang memiliki manfaat kesehatan berbasis tradisi lokal sudah seharusnya dianggap sebagai bagian dari pelayanan kesehatan tradisional.
Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Spa, telah ditentukan spa termasuk dalam bagian pelayanan kesehatan yang dilakukan secara holistik dengan memadukan berbagai jenis perawatan kesehatan tradisional dan modern yang menggunakan air beserta pendukung perawatan lainnya berupa pijat penggunaan ramuaan, terapi aroma, latihan fisik, terapi warna, terapi musik, dan makanan untuk memberikan efek terapi melalui panca indera guna mencapai keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan jiwa sehingga terwujud kondisi kesehatan yang optimal. Berkenaan dengan hal ini, pelayanan spa dimaksud dibagi menjadi dua, yaitu health spa dan wellness spa sebagai upaya pelayanan kesehatan promotif dan preventif serta medical spa sebagai upaya pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif.
“Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah dalil yang berdasar. Namun oleh karena pemaknaan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, maka dalil para Pemohon a quo adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” kata Arief.
Sementara itu, dalil para Pemohon berkenaan dengan frasa “dan mandi uap/spa dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD yang menetapkan pajak mandi uap/spa sebesar paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen yang diklasifikasikan sama dengan kelompok hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar merupakan tindakan ketidakadilan dan diskriminatif adalah tidak beralasan menurut hukum. Besaran tarif pajak mandi uap/spa yang dipersoalkan para Pemohon menjadi ranah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukan sebagaimana amanat Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945.
Selain itu, berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2022, objek pajak daerah dan retribusi daerah yang termasuk jenis jasa kesenian dan hiburan dikecualikan dari penganaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Karena itu, tidak terdapat pengenaan pajak ganda sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan pengklasifikasian pengenaan pajak sebesar 40 persen dan paling tinggi 75 persen yang ditetapkan untuk mandi uap/spa berpotensi adanya pengenaan pajak ganda akan berdampak langsung pada keberlangsungan usaha pelayanan kesehatan tradisional adalah tidak beralasan menurut hukum.
Mutatis Mutandis Berlaku Untuk 31, 32/PUU-XXII/2024
Selain Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024, Mahkamah juga mengucapkan putusan untuk Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 dan 32/PUU-XXII/2024. Kedua perkara ini pun terdapat persoalan yang sama dengan Putusan MK Nomor 19/PUU-XXII/2024. Sehingga Putusan MK Nomor 19/PUU-XXII/2024 mutatis mutandis berlaku untuk Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 dan 32/PUU-XXII/2024.
Putusan MK Nomor 31/PUU-XXII/2024
Menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tersebut telah ternyata substansi norma Pasal 58 ayat (2) UU HKPD yang dipersoalkan sama dengan yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 19/PUU-XXII/2024 yang diucapkan sebelumnya. Para Pemohon mempersoalkan mengenai pengenaan tarif paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen khusus Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, di mana para Pemohon menginginkan besaran tarif PBJT tersebut tidak diperlakukan khusus, termasuk adanya potensi pengenaan pajak ganda atas PBJT. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum tersebut, pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 19/PUU-XXII/2024 sepanjang berkenaan dengan norma Pasal 58 ayat (2) UU HKPD mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan hukum dalam menjawab dalil tersebut.
Selain itu, dalil para Pemohon yang mempersoalkan frasa “Cukup Jelas” dalam Penjelasan Pasal 58 UU HKPD, menurut Mahkamah pasal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip memajukan diri; prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; prinsip mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama; dan prinsip bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 bukan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Putusan MK Nomor 32/PUU-XXII/2024
Begitu pula untuk untuk permohonan Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024, esensi yang dimohonkan dalam perkara tersebut adalah sama, yakni mempersoalkan mengenai pengenaan tarif paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen khusus PBJT atas jasa kesenian dan hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, di mana para Pemohon menginginkan besaran tarif PBJT tersebut tidak diperlakukan khusus, termasuk adanya potensi pengenaan pajak ganda atas PBJT. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum tersebut, pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 19/PUU-XXII/2024 sepanjang berkenaan dengan norma Pasal 58 ayat (2) UU HKPD mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan hukum dalam menjawab dalil permohonan a quo.
Menurut Mahkamah, telah ternyata norma frasa “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)” dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD, tidak bertentangan dengan hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; prinsip atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; prinsip perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; prinsip bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga:
Pengusaha Minta Spa Tidak Masuk Kategori Jasa Kesenian dan Hiburan
Pengusaha Karaoke Uji Ketentuan Pajak Hiburan
Sejumlah Pengusaha Persoalkan Pengkhususan Tarif Pajak Hiburan
Pemohon: Usaha Spa Berpotensi Bangkrut Akibat Tarif Pajak 40 Persen
Pengusaha Karaoke Perbaiki Permohonan Uji Ketentuan Pajak Hiburan
Pengusaha Minta Pajak Hiburan Maksimal 10 Persen
Bukan Kebutuhan Dasar Jadi Alasan Pemerintah Tetapkan Tarif Pajak Tinggi Bagi Tempat Hiburan Malam dan Spa
Ahli Sebut SPA Termasuk Pelayanan Kesehatan, Bukan Hiburan
Sidang Uji Materiil UU HKPD Menyoal Tarif Khusus Pajak Hiburan Dijadwalkan Ulang
Ahli Sebut Pengenaan Tarif PBJT Seragam Atas Jasa Hiburan yang Berbeda Tidak Adil
Ahli: Efek Domino Tarif PBJT 40 – 75 Persen Hingga Menyumbang Pengangguran
Ahli Ungkap Alasan Mandi Uap/Spa Masuk Pajak Hiburan
Sebagai informasi, Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 dimohonkan oleh 22 Pemohon yang terdiri dari badan hukum perkumpulan atau organisasi (Pemohon I-II), badan hukum privat (Pemohon III-IX), dan perorangan (Pemohon X-XXII) yang berkaitan dengan usaha kesehatan spa. Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 diajukan Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga. Sementara, Perkara Nomor 32/PUU-XXII/2024 diajukan para pengusaha yang mewakili enam badan hukum yang menjalankan usaha dalam bidang pariwisata dan jasa/hiburan, yaitu Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (DPP GIPI), PT Kawasan Pantai Indah, CV. Puspita Nirwana, PT Serpong Abadi Sejahtera, PT Citra Kreasi Terbaik, dan PT Serpong Kompleks Berkarya. Para Pemohon mengaku mengalami kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 58 ayat (2) UU HKPD yang mengatur pengkhususan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina