JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan para Pemohon sepanjang pengujian Pasal 302 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dapat diterima. Sementara MK menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Selain KUHP, para Pemohon Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024 juga menguji Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Pasal 12 ayat (1) huruf a dan Pasal 37 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Menurut para Pemohon, kebebasan beragama sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 seharusnya pada penerapannya termasuk kebebasan untuk tidak menganut agama tertentu atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME). Dengan berdasar kepada anggapan ini, para Pemohon memohonkan pengujian sejumlah norma dalam undang-undang berkenaan penerapan hak beragama, yaitu pengakuan hak untuk tidak beragama dalam undang-undang yang mengatur tentang HAM, hak untuk tidak menyebutkan agama atau kepercayaan tertentu dalam data kependudukan, hak untuk mendapatkan pengakuan perkawinan yang tidak didasarkan agama atau kepercayaan, serta hak untuk tidak mengikuti pendidikan agama dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh mengatakan materi muatan UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit dilengkapi dengan frasa atau prinsip-prinsip yang bersifat religi atau keagamaan (religius). Muatan bernuansa religius dalam UUD NRI Tahun 1945 di antaranya pembukaan alinea ketiga, alinea keempat, Pasal 9 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28J ayat (2), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 31 ayat (3).
“Telah jelas bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah konstitusi yang meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa atau dapat dikatakan sebagai konstitusi yang religius (godly constitution),” ucap Daniel dalam sidang pengucapan putusan pada Jumat (3/1/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Namun demikian, dalam kaitannya dengan relasi agama dan negara, Indonesia juga bukanlah negara agama yang hanya mendasarkan penyelenggaran negara pada agama tertentu serta bukan pula negara sekuler yang memisahkan relasi antara agama dan negara. Berdasarkan fakta tersebut, negara Indonesia berada pada jenis ketiga, yaitu negara yang mempertautkan, mengintegrasikan, dan mensinergikan antara berbagai agama dan negara dalam kaitannya memandang relasi antara agama dan negara. Negara Indonesia berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Artinya, nilai dan prinsip semua agama dan keyakinan yang hidup yang memuat nilai kebaikan dan bersifat universal dijadikan dasar dalam penyelenggaraan negara.
Demokrasi Tanpa Nomokrasi Timbulkan Kekacauan
Daniel melanjutkan, dalam penyelenggaraannya, prinsip demokrasi harus diringi oleh prinsip nomokrasi, begitu pula sebaliknya. Demokrasi tanpa nomokrasi akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, begitu pula nomokrasi tanpa demokrasi, akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang. Prinsip demokrasi dan nomokrasi, harus didasarkan pada prinsip teokrasi karena pada dasarnya negara didirikan dengan semangat teologi yang mengilhami praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Para negarawan yang dulu mendirikan negara dan bangsa ini telah meletakkan nilai luhur Pancasila yang dijiwai oleh spirit Ketuhanan sehingga meniardi dasar fundamental dalam kehidupan bangsa kita.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut, maka jelas dan tegas bahwa agama dan prinsip berketuhanan merupakan salah satu unsur penting yang membentuk karakter hukum positif di Indonesia. Penerapannya dalam hukum positif tersebut merupakan keniscayaan, karena UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan dasar hukum Indonesia secara terang benderang meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara, di mana fakta tersebut berakar dari prinsip yang terdapat dalam Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Manifestasi prinsip ini dalam hukum positif diwujudkan dalam bentuk perlindungan dan jaminan hak untuk menjalankan kehidupan beragama berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai lini kehidupan warga negara.
Kebebasan Beragama dan Menganut Kepercayaan Kepada Tuhan YME
Selain itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, Mahkamah meyakini agama dan kepercayaan kepada Tuhan YME merupakan unsur terpenting dalam menjaga dan mempertahankan karakter bangsa sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Namun dalam praktiknya pun warga negara tetap diberi kebebasan untuk beragama atau menganut kepercayaan terhadap Tuhan YME sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
“Dalam konteks ini, maka implementasi masing-masing individu dalam meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hukum positif adalah beragama dan menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara merdeka, hal mana merupakan pilihan yang jauh lebih tepat daripada tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pembatasan kebebasan beragama di mana tidak ada ruang kebebasan warga negara untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pembatasan yang proporsional dan bukanlah pembatasan yang bertentangan dengan konstitusi,” jelas Arief.
Menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan Pasal 22 UU HAM, Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, serta Pasal 12 ayat (1) huruf a dan Pasal 37 UU Sisdiknas adalah tidak bertentangan dengan hak persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas kepastian hukum yang adil, hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus, hak atas perlindungan diri dari diskriminasi, hak membentuk keluarga, serta hak untuk bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya terhadap keempat undang-undang tersebut.
Baca juga:
Menyoal Ketiadaan Pilihan “Tidak Beragama” dalam KK Maupun KTP
Para Pemohon Perbaiki Permohonan Ingin Tidak Beragama Diakui dalam Adminduk
Sebagai informasi, para Pemohon ingin kolom agama dalam biodata penduduk yang memuat keterangan agama yang dianut atau kepercayaan dalam Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Pengenal (KTP) dapat diisi dengan “tidak beragama”. Para Pemohon yakni Raymond Kamil (Pemohon I) dan Indra Syahputra (Pemohon II) mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan manapun termasuk yang agama dan kepercayaan yang telah diakui negara Indonesia. Para Pemohon menyatakan telah mengalami kerugian hak konstitusional karena harus mengisi kolom agama dalam adminduk dengan memilih agama atau kepercayaan, padahal dirinya ingin diinput tidak beragama.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 22 UU 39/1999 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing atau tidak memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu atau tidak beribadat dan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan/atau kepercayaannya itu atau tidak memeluk agama dan/atau kepercayaan. Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 61 ayat (91) dan Pasal 64 ayat (1) UU 23/2006, Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 37 ayat 1 dan ayat (2) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang diajukan para Pemohon dalam petitum permohonan ini.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan