JAKARTA, HUMAS MKRI – Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan umum Republik Indonesia sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Demikian tafsir baru Mahkamah Konstitusi (MK) atas Norma Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS). Dalam Putusan Nomor 100/PUU-XXII/2024, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan yang diajukan oleh Togi M. P. Pangaribuan. Amar Putusan ini dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, Mahkamah menegaskan mengenai kata “dianggap” dalam frasa “yang menurut ketentuan umum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional”. Kata “dianggap” dinilai menyebabkan ketidakpastian hukum oleh para Pemohon. Secara gramatikal, berdasarkan gramatikal berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “dianggap” yang berasal dari kata “anggap” memiliki padanan kata seperti “kira”, “sangka”, “taksir”, “tebak”, “terka”, “duga”. Oleh karena itu, secara umum kata-kata tersebut memiliki arti sesuatu yang belum jelas atau masih dapat berubah-ubah tergantung bukti dan fakta yang mengikutinya.
Oleh karena itu, lanjut Ridwan, penggunaan diksi yang jelas dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sangat penting untuk memberikan kepastian hukum, mencegah ambigu, dan penyalahgunaan atau celah hukum, dan memastikan aturan yang akan dibentuk dapat diterapkan secara konsisten. Menurut Mahkamah, pilihan yang paling rasional dalam mewujudkan kepastian hukum yang adil terkait definisi, ruang lingkup, dan batasan putusan arbitrase internasional dalam norma Pasal 1 angka 9 UU AAPS adalah dengan menghilangkan kata “dianggap” dalam norma tersebut.
“Dengan tidak adanya kata ‘dianggap’ dalam norma a quo, maka keberadaan frasa ‘atau yang menurut ketentuan umum Republik Indonesia sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ adalah bersifat menguatkan konsep teritorial dalam frasa ‘putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Rebublik Indonesia’. Artinya, definisi dan ruang lingkup putusan arbitrase di Indonesia berdasarkan pada konsep teritorial dan faktor lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” ucap Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur terhadap Perkara Nomor 100/PUU-XXII/2024 ini.
Parameter Putusan Arbitrase Internasional
Kemudian Hakim Konstitusi Ridwan menerangkan Mahkamah memberikan pedoman sekaligus batasan yang harus dijadikan prinsip utama dalam pembentukan hukum, khususnya terkait dengan putusan arbitrase internasional. Batasan tersebut, yakni kedaulatan Indonesia, kepentingan ekonomi nasional, penyelesaian sengketa secara efektif dan efisien, dan prinsip saling menguntungkan dalam hubungan kerja sama internasional. Selain itu, perlu dilakukan harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional agar bangsa Indonesia tetap dihormati dalam pergaulan hukum dunia internasional, khususnya dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase serta memberikan kepastian hukum yang adil dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan sosial bangsa Indonesia.
Ridwan menyebut pentingnya rambu-rambu tersebut sebagai bagian dari cakupan dari pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional karena dimensinya sangat luas, meliputi pengaturan di bidang perdagangan dan investasi/penanaman modal yang mencakup berbagai sektor, termasuk pertambangan mineral dan batu bara serta bidang lainnya dalam lingkup perdagangan internasional.
“Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut telah ternyata kata ‘dianggap” dalam norma Pasal 1 angka 9 UU 30/1999 telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Namun oleh karena hal tersebut bukan sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, maka dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” sebut Hakim Konstitusi Ridwan.
Baca juga:
Menyoal Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Advokat Perjelas Dalil Ketidakjelasan Perbedaan Definisi Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
DPR RI dan Pemerintah Minta Penundaan Sidang Uji Ketentuan Teritorial Putusan Arbitrase Nasional dan Internasional
Dua Permasalahan Utama Pelaksanaan Arbitrase Internasional di Indonesia
Ahli: Perlunya Ada Parameter Putusan Arbitrase Non-domestik
Untuk diketahui, Pemohon menyatakan Pasal 1 angka (9) UU AAPS khususnya frasa ’yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional’ bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bagi Pemohon setidak-tidaknya mengalami kerugian konstitutional yang aktual dan spesifik dalam beberapa aspek, di antaranya dari sisi profesi dosen Pemohon mempunyai kewajiban untuk mengajarkan ilmu hukum arbitrase kepada mahasiswa secara akurat, baik dari sisi teoretikal ilmu dan juga praktikalnya.
Sementara dari sisi profesi sebagai advokat, Pemohon berkewajiban untuk memberikan jasa hukum, baik berupa layanan litigasi maupun nasihat kepada klien. Dengan adanya ketidakpastian hukum dalam UU AAPS, Pemohon tidak dapat melaksanakan kedua profesi tersebut. Sebab adanya pencampuradukkan pengertian konsep teritorial sempit dan luas di dalam UU AAPS. Sehingga Pemohon kesulitan untuk menentukan mana yang tergolong putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional apabila mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (9) UU AAPS. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan