JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakmian). Sidang Pengucapan Putusan Nomor 133/PUU-XXII/2024 digelar pada Kamis (2/1/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan dalam pertimbangan hukum Putusan a quo bahwa alasan permohonan Pemohon tidak dapat diterima karena permohonan Permohon tesebut tidak jelas atau kabur (obscuur).
“Tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur). Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” ucap Enny saat membacakan Pertimbangan Hukum.
Selain itu, alasan permohonan Pemohon tersebut tidak dapat diterima oleh Mahkamah karena posita yang dikemukakan oleh Pemohon tidak menguraikan secara jelas argumentasi hukum mengenai pertentangan antara norma yang dimohonkan pengujian dengan dasar pengujian yang terdapat dalam UUD NRI 1945. Sebaliknya, posita Pemohon lebih banyak menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan kasus konkret yang dialaminya serta kekecewaan Pemohon yang sesungguhnya berkaitan dengan implementasi atas berlakunya norma-norma yang dimohonkan. Sehingga, Mahkamah tidak dapat memahami permasalahan konstitusionalitas norma dari permohonan Pemohon atau dalam kata lain, Mahkamah sulit menemukan pertautan inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan.
“Mahkamah tidak dapat memahami permasalahan konstitusionalitas norma. Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, karena Pemohon lebih banyak menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan kasus konkret yang di dialaminya serta kekecawaan Pemohon yang sesungguhnya berkaitan dengan implementasi atas berlakunya norma-norma yang dimohonkan diujikan,” ucap Enny.
Mahkamah menegaskan bahwa syarat utama agar suatu pasal dan/atau ayat undang-undang (UU) dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat adalah pasal dan/atau ayat tersebut harus terbukti dan dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kektuan hukum mengikat. Pertentangan tersebut harus diuraikan dalam alasan-alasan permohonan. Hal itu sesuai dengan hukum acara pengujian UU yang berdasarkan PMK 2/2021.
Baca juga:
Wirausahawan yang Menguji UU Kehakiman Perbaiki Permohonan
Wirausahawan Uji UU Kekuasaan Kehakiman Akibat Perbedaan Implementasi Putusan
Tidak Lazim
Lebih lanjut, Hakim Enny Nurbaningsih menguraikan secara spesifik hukum acara pengujian UU di MK yang secara yuridis-normatif diatur dalam PMK 2/2021. Uraian ini dilakukan sekaligus untuk mengkoreksi petitum pemohon yang menurut Mahkamah tidak lazim diuraikan dalam proses pengujian UU.
“Jika dicermati lebih lanjut rumusan petitum Pemohon, menurut Mahkamah juga merupakan rumusan petitum yang tidak lazim. Menurut Mahkamah petitum tersebut tidak sesuai dengan hukum acara pengujian undang-undang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021. Dalam hal ini salah satu syarat untuk menyatakan petitum permohonan sesuai dengan ketentuan dimaksud adalah norma yang dimohonkan pengujian harus bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum mengikat,” ucap Enny dalam pembacaan Pertimbangan Hukum.
Implikasi atas ketidaksesuaian permohonan pengujian materiil dengan hukum acara pengujian UU berdasarkan PMK 2/2021 sebagaimana yang diuraikan di atas, Mahkamah akhirnya memutuskan dalam amar putusannya bahwa permohonan Pemohon tidak dapat diterima. “Amar putusan, Mengadili, permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tandas Suhartoyo. (*)
Penulis: Ahmad Sulthon Zainawi
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina