JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan Perkara uji materi Pasal 163 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang Pengucapan Putusan Nomor 167/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Kamis (2/1/2025). Permohonan uji materi ini diajukan oleh empat mahasiswa, yakni Caroline Gabriela Pakpahan, M Nurrobby Fatih, Abedgeno Paniroi Rafra Gurning, dan Muhammad Thoriq Classica Perdana dengan didampingi Sandy Yudha Pratama Hulu sebagai Kuasa Hukum. “Mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai bahwa hak-hak konstitusional yang dimiliki para Pemohon tidak memiliki korelasi dengan anggapan kerugian akibat keberlakuan norma Pasal 162 dan Pasal 163 UU Pemilu yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. Alih-alih menguraikan korelasi anggapan kerugian dengan hak konstitusional, para Pemohon justru mengaitkan dengan ketidakmandirian lembaga penyelenggara Pemilu, yakni Sekretariat DKPP. Padahal, menurut Hakim, hal tersebut telah diwanti-wanti dalam sidang Pendahuluan perkara ini pada Kamis (5/12/2024) lalu.
"Dalam menguraikan anggapan kerugian hak konsitusionalnya, para Pemohon justru hanya menguraikan anggapan kerugian akibat keberlakuan norma Pasal 162 dan Pasal 163 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang pada pokoknya berkaitan dengan ketidak mandirian lembaga penyelenggara Pemilu dalam bentuk Sekretariat DKPP yang pengisian dan pemberhentian jabatan sekretarisnya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri tanpa mengaitkannya dengan kerugian hak konstitusional yang dimiliki oleh para Pemohon," kata Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam persidangan yang sama.
Selain itu, Majelis Hakim Konstitusi pun menilai bahwa para Pemohon tidak dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat (causa verband) yang bersifat spesifik perihal anggapan kerugian hak konstitusional yang dimiliki oleh para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 162 dan Pasal 163 UU Pemilu yang dimohonkan pengujian. Meski demikian, Majelis Hakim mengapresiasi tujuan para Pemmohon yang dianggap berupaya melindungi DKPP sebagai salah satu lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
"Akan tetapi, dalam konteks permohonan a quo, Mahkamah tidak meneukan adanya keterkaitan antara anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengajuan konstitusionalnya," ujar Arsul.
Sebelumnya dalam permohonannya, para Pemohon meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 163 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum sepanjang frasa "Diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul DKPP".
Kemudian dalam perbaikannya, para Pemohon juga meminta agar Majelis menyatakan Pasal 162 Undang-Undang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Untuk mendukung kelancaran tugas dan wewenang DKPP, dibentuk Sekretariat Jenderal DKPP”.(*)
Penulis: Ashri Fadilla
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan