JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan Putusan Nomor 160/PUU-XXII/2024 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan diajukan Boyamin Bin Saiman yang mengujikan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK. Pasal tersebut mengatur ihwal pemilihan calon pimpinan (capim) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK oleh presiden.
Atas permohonan tersebut, MK menolak seluruhnya permohonan Pemohon yang bernama Boyamin Bin Saiman. Pemohon sendiri mengajukan permohonan akibat hadirnya kerugian konstitusional yang berkenaan dengan tidak adanya kepastian hukum mengenai presiden atau pemerintah periode mana yang berhak membentuk panitia seleksi capim dan Dewas KPK.
MK dalam amar Putusan Nomor 160/PUU-XXII/2024 menyatakan menolak seluruh permohonan Boyamin Bin Saiman. “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo.
Adapun dalam pertimbangan MK menyatakan, Presiden terikat pada ketentuan dalam UU KPK dan berakhirnya masa jabatan pimpinan dan Dewas KPK. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan di lembaga tersebut.
"Selain itu, apabila diletakkan dalam sekuens waktu antara proses seleksi calon pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK sampai dengan pelantikan pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK periode 2024-2029, yaitu pada sekitar pertengahan bulan Desember 2024 dan dikaitkan dengan waktu pelantikan DPR RI periode tahun 2024-2029 dan pelantikan presiden periode 2024-2029, logika yang digunakan oleh Pemohon akan berakibat pada tidak dapat dilantiknya pimpinan KPK dan Dewas KPK pada tepat pertengahan bulan Desember 2024," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan MK, Kamis (2/1/2025).
Apabila permohonan Pemohon dikabulkan, justru akan menimbulkan pemaknaan yang sempit terhadap penerapan Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU KPK. Di mana norma tersebut menjadi sulit atau bahkan tidak dapat menyesuaikan dengan situasi serta sekuen waktu yang tersedia tatkala dilakukan seleksi hingga pengesahan capim dan calon Dewas KPK.
"Oleh karena itu, menurut mahkamah, norma Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU KPK adalah cukup jelas. Sehingga tidak perlu diberikan pemaknaan lain berkenaan dengan presiden atau pemerintah mana yang berhak menerapkan norma a quo," ujar Saldi.
Baca juga:
Boyamin Saiman Sempurnakan Permohonan Uji Legitimasi Seleksi Pimpinan KPK
Legitimasi Seleksi Pimpinan KPK Dipertanyakan
Permohonan MAKI Ditolak
MK juga menggelar sidang pengucapan Putusan Nomor 163/PUU-XXII/2024 dalam perkara pengujian materiil Pasal 30 Ayat (1) dan (2) UU KPK. Permohonan diajukan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI). Dalam amar putusan, MK menolak seluruh permohonan MAKI.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
MK dalam pertimbangannya menyatakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 160/PUU-XXII/2024 secara mutatis mutandis berlaku pula dalam mempertimbangan Perkara Nomor 163/PUU-XXII/2024. Di mana presiden terikat pada ketentuan dalam UU KPK dalam berakhirnya masa jabatan pimpinan dan Dewas KPK. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadinya kekosongan di lembaga tersebut.
Penulis: Nawir Arsyad Akbar.
Editor: N Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.