JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materi Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) serta Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Mahkamah perpandangan pembatasan dari sisi usia tidak dapat secara mutlak dilarang dan sebaliknya tidak pula secara mutlak diperbolehkan, melainkan harus didasarkan pada kebutuhan spesifik jenis pekerjaannya.
“Keragaman jenis dan syarat pekerjaan tidak dapat diatur atau dituangkan dalam satu rumusan ketentuan yang spesifik. Pengaturan yang lebih spesifik atau detail terkait syarat masing-masing bidang pekerjaan sebaiknya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh instansi yang membidangi ketenagakerjaan,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 124/PUU-XXII/2024
pada Kamis (2/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Enny melanjutkan, berkaitan dengan keinginan para Pemohon agar dihilangkannya kategori jenis kelamin, usia, atau agama dari persyaratan pekerjaan sulit diimplementasikan. Sebab, terdapat banyak ragam pekerjaan yang ketika tidak diperbolehkan mensyaratkan secara spesifik seperti jenis kelamin, usia, dan agama, justru akan menghilangkan hakikat pekerjaan itu sendiri dan mencederai rasa keadilan.
“Misalnya, untuk pekerjaan bidang konstruksi di lapangan, tentu lebih manusiawi jika mempekerjakan pekerja berusia muda yang secara rata-rata mempunyai fisik kuat, atau pekerjaan terkait dengan layanan keagamaan tentunya lebih tepat jika disyaratkan agama yang sama,” jelas Enny.
Mahkamah mengatakan dalam petitumnya para Pemohon meminta agar pemberi kerja “dilarang mengumumkan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan usia, berpenampilan menarik, ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan”. Berkenaan dengan petitum tersebut, muara persoalan para Pemohon sebenarnya adalah ketersediaan dan kecukupan lapangan kerja yang sesuai dengan kondisi masing-masing pencari kerja seperti lowongan pekerjaan untuk lanjut usia; orang dengan keterbatasan fisik dan mental, beragam tingkat pendidikan, dan sebagainya. Solusi terhadap persoalan tersebut tidak lain adalah menciptakan lapangan kerja baru baik lapangan kerja sektor formal maupun di sektor informal.
Selain itu, menurut Mahkamah, penetapan batas usia dalam rekrutmen tenaga kerja tetap harus didasarkan pada alasan yang proporsional dan relevan, termasuk mempertimbangkan kepentingan pegawai dan masa kerja untuk pensiun, tanpa mencederai hak-hak konstitusional pencari kerja. Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 menurut Mahkamah telah memberikan batasan tegas mengenai apa yang dimaksud dengan tindakan diskriminatif yaitu pembedaan berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik tanpa ikut memasukkan pembedaan yang didasarkan pada parameter usia.
Artinya, pemberlakuan syarat batas usia dalam proses perekrutan kerja lebih terkait dengan kebutuhan objektif pemberi kerja yang disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan tertentu. Syarat-syarat termasuk pembatasan usia umumnya diterapkan untuk memastikan bahwa calon pekerja memiliki kompetensi atau kualifikasi tertentu yang dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, pemberian syarat usia tersebut tidak dapat serta-merta dianggap sebagai tindakan diskriminatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU 39/1999.
Dalam kaitan ini, batasan usia dalam proses perekrutan kerja bukan merupakan kategori yang secara eksplisit dilarang oleh ketentuan dalam UU 39/1999 maupun konvensi internasional, in casu ICCPR dan Konvensi ILO Nomor 111. Perlakuan berbeda yang didasarkan pada batasan usia dalam proses perekrutan kerja, seringkali didasarkan pada kebutuhan obyektif yang berkaitan dengan karakteristik pekerjaan tertentu. Hal ini relevan dengan "doctrine of reasonable classification", di mana perbedaan perlakuan dianggap dapat diterima apabila didasarkan pada alasan yang masuk akal (reasonable ground) dan bertujuan untuk mencapai kepentingan yang sah (legitimate aim).
“Dalam konteks penerapan doktrin tersebut, batasan usia dalam perekrutan kerja dapat dipandang sebagai instrumen yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa calon pekerja memiliki kapabilitas dan kompetensi yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan, terutama apabila karakteristik pekerjaan tersebut menuntut kualitas atau kondisi fisik tertentu yang terkait erat dengan usia,” tutur Enny.
Di sisi lain, terdapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Pada pokoknya, menurut Guntur seharusnya permohonan perkara ini dikabulkan meskipun sebagian.
Baca juga:
Pemohon Persoalkan Diskriminasi Rekrutmen Tenaga Kerja
Syarat Usia Kerja Penyebab Pengangguran Membeludak
Sebagai informasi, perkara ini dimohonkan Leonardo Olefins Hamonangan, Max Andrew Ohandi, dan Martin Maurer. Para Pemohon menguji frasa “dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan” dalam Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Para Pemohon mengatakan UU Ketenagakerjaan tidak mengatur tentang prinsip kesetaraan dalam proses rekrutmen, yang bisa menyebabkan diskriminasi terhadap kelompok tertentu berdasarkan faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin, atau asal daerah. Ketidakadilan dalam proses rekrutmen dapat merusak kepercayaan publik terhadap perusahaan dan bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi yang diakui secara luas dalam hukum Ketenagakerjaan. Tidak ada jaminan tenaga kerja yang direkrut akan dipilih berdasarkan kualifikasi atau meritokrasi. Permasalahan yang ditimbulkan justru adanya dampak sosial makin meluas karena sering dijumpai persyaratan lowongan pekerjaan tidak masuk akal mengakibatkan banyaknya pencari kerja kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Para Pemohon mengatakan Pasal 1 angka 3 UU HAM telah melanggengkan diskriminasi usia pada lowongan pekerjaan dan telah menciderai hak-hak konstitusional setiap warga negara. Apabila memasukkan frasa usia pada definisi diskriminasi Pasal 1 angka 3 UU HAM tidak akan melemahkan perlindungan dari praktik diskriminasi, tetapi justru memperkuat perlindungan setiap warga negara Indonesia (WNI) dari segala bentuk ageism. Batasan usia dalam lowongan pekerjaan seringkali didasarkan pada steorotip negatif terhadap kemampuan individu yang lebih tua. Padahal, kata para Pemohon, penelitian menunjukkan individu yang lebih tua tetap mampu belajar hal-hal baru dan beradaptasi dengan teknologi, terutama jika mereka diberikan pelatihan dan dukungan yang memadai. Sedangkan banyak contoh juga pekerja muda yang mungkin belum memiliki kedewasaan atau pengalaman yang dibutuhkan untuk posisi tertentu.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 35 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja dilarang mengumumkan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan usia, berpenampilan menarik, ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, kebangsaan atau asal usul keturunan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan.”
Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 3 UU HAM bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar usia, agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.