JAKARTA, HUMAS MKRI – Rekayasa atau manipulasi berlebihan sepanjang berkaitan dengan foto/gambar peserta pemilu yang dipoles dan dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi AI menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan asas pemilu bebas, jujur, dan adil. Sebab, informasi yang tidak benar dapat merusak loyalitas pemilih terhadap kandidat. Selain itu, hal demikian dapat merusak kemampuan pemilih untuk mengambil keputusan secara berkualitas sehingga berdampak pada kerugian bagi pemilih secara individual dan merusak kualitas demokrasi.
Demikian pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra untuk Putusan Nomor 166/PUU-XXI/2023. Permohonan ini menguji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang dimohonkan oleh Gugum Ridho Putra. Sidang Pengucapan Putusan ini digelar pada Kamis (2/1/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.
Secara lebih rinci Saldi mengungkapkan, menurut Mahkamah, sebagai warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dalam pemilu harus dijamin hak dasarnya untuk memperoleh informasi yang benar, baik dalam pemilu presiden, legislatif, dan kepala daerah sebagaimana dijamin Pasa 28F UUD NRI 1945. Di samping itu, hak Pemohon untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu yang adil dan objektif juga dijamin dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
“Dengan demikian, Mahkamah berpendapat terhadap norma Pasal 1 angka 35 UU Pemilu sepanjang frasa ‘citra diri’ yang berkaitan dengan foto/gambar peserta pemilu harus dilakukan pemaknaan bersyarat dengan mewajibkan peserta pemilu untuk menampilkan foto/gambar tentang dirinya yang original dan terbaru serta tanpa direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi kecerdasan artifisial. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah menilai terhadap permohonan Pemohon berkenaan dengan frasa ‘citra diri’ dalam norma Pasal 1 angka 35 UU pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum. Namun oleh karena pemaknaan yang dilakukan Mahkamah terhadap norma pasal a quo tidak sebagaimana yang didalilkan Pemohon, maka permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 1 angka 35 UU Pemilu adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian,” sebut Saldi.
Merumuskan Norma Baru
Sementara terkait dengan dalil Pasal 274 ayat (1) UU Pemilu, Mahkamah mempertimbangkan bahwa pengertian kampanye sebagaimana telah dipertimbangkan frasa “citra diri” merupakan bagian dari pengertian kampanye yang telah dimaknai secara bersyarat pada Pasal 1 angka 35 UU Pemilu, sehingga jika ada norma lain yang terdampak maka keberlakuannya menyesuaikan. Sebagai konsekuensi yuridisnya, terhadap Pasal 274 ayat (1) UU Pemilu jika norma tersebut terdampak, maka tidak ada relevansinya bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan lebih lanjut berkenaan dengan inkonstitusionalitas pasal tersebut. Terlebih jika keinginan Pemohon diakomodir dalam pasal tersebut berkenaan dengan materi kampanye mencakup frasa “citra diri” peserta pemilu berupa nomor urut, foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar, dan suara terbaru pasangan calon bagi calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota tanpa manipulasi digital, maka sama saja Mahkamah merumuskan norma baru.
Ekspresi Pandangan Politik
Selanjutnya, Mahkamah memberikan pertimbangan hukum berkenaan dengan dalil Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), dan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu yang menurut Pemohon berkaitan dengan ketidakjelasan norma dalam ketiadaannya memberikan larangan bagi presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, memiliki hubungan keluarga atau semenda sampai derajat ketiga dalam mengikuti kampanye dengan peserta pemilu. Prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diamanatkan UUD NRI Tahun 1945 bukanlah konsep yang statis, melainkan dinamis dan dapat diadaptasi sesuai dengan konteks sosial, politik, dan perkembangan teknologi.
Prinsip tersebut harus dipahami sebagai panduan umum dalam penyelenggaraan pemilu dan bukan sebagai dasar untuk mengesampingkan hak politik pejabat publik sebagai warga negara. Pemilu yang dilaksanakan secara berkala lima tahun sekali, tidak berarti partisipasi pejabat publik dalam kampanye pemilu harus sepenuhnya dilarang. Sebab, kebebasan dan kejujuran dalam pemilu tersebut mencakup kebebasan dan kejujuran bagi para pejabat publik untuk mengekspresikan pandangan politiknya selama dilakukan dengan cara yang etis dan tidak menyalahgunakan wewenang atau sumber daya negara.
“Menurut Mahkamah, UU Pemilu telah menyediakan mekanisme untuk memastikan pejabat publik tidak menyalahgunakan jabatan atau fasilitas negara dalam kampanye pemilu. Pejabat negara yang berpartisipasi dalam kampanye pemilu harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, partisipasi pejabat publik dalam aktivitas politik termasuk dalam kampanye merupakan manifestasi dari hak konstitusional warga negara selama dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Maka dalam konteks kampanye sepanjang dalam ketentuan undang-undang tidak melarang, maka terhadap pejabat publik tersebut diperbolehkan untuk melakukannya,” sebut Saldi.
Ketidakpastian Hukum
Berikutnya, Mahkamah memberikan pertimbangan hukum berkenaan dengan syarat larangan kampanye yang diberlakukan bagi presiden, wakil presiden, gubernur, wakil gubernur yang memiliki hubungan keluarga/semenda sampai derajat ketiga untuk mengikuti kampanye dengan peserta pemilu. Hal demikian berakibat pada pembatasan hak kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berpartisipasi dalam kegiatan politik sebagai hak waga negara. Secara substansial, keinginan Pemohon tersebut juga sulit untuk diimplementasikan karena menelusuri adanya hubungan keluarga untuk mengikuti kampanye dengan peserta pemilu oleh penyelenggara pemilu menjadi hal yang tidak mudah untuk dilakukan dan sebaliknya justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah dalil permohonan berkenaan dengan inkostitusionalitas norma Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), dan Pasal 299 ayat (1) UU Pmeilu adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Saldi.
Untuk itu, dalam Amar Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo, Mahkamah mengabulkan untuk permohonan Pemohon untuk sebagian.
“Menyatakan frasa “citra diri” yang berkaitan dengan foto/gambar dalam Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “foto/gambar tentang dirinya yang original dan terbaru serta tanpa direkayasa/dimanipulasi secara berlebihan dengan bantuan teknologi kecerdasan artifisial (artificial intelligence),” ucap Suhartoyo.
Baca juga:
Pejabat Negara Kampanye Berpotensi Konflik Kepentingan
Advokat Perbaiki Uji Citra Diri Peserta Pemilu
Pemerintah: Keikutsertaan Pejabat Negara dalam Berkampanye, Bentuk Hak Warga Negara
Pejabat Negara Kampanyekan Peserta Pemilu yang Miliki Hubungan Keluarga, Bentuk Nepotisme
Dalam Sidang Pendahuluan pada Kamis (23/12/2023), Pemohon menyebutkan terdapat kekosongan hukum dalam aturan kampanye pada penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang di tengah potensi adanya konflik kepentingan, pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), serta tidak adanya pembatasan penampilan citra diri. Pemohon menjelaskan, presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota sepatutnya dilarang mengikuti kampanye keluarganya yang menjadi peserta pemilu. Sebab, hal ini sebetulnya telah diatur Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menginginkan pemilu dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil.
Pemohon mengatakan pembiaran bagi presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota untuk dapat mengikuti kampanye anggota keluarganya yang ikut kontestasi pemilu secara langsung bertentangan dengan prinsip pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Kehadiran secara fisik para pejabat itu akan menjadi perintah non-verbal yang sangat kuat kepada khalayak luas bahwa sang pejabat secara tidak langsung meminta seluruh masyarakat mengikuti pemilihannya untuk turut mendukung keluarganya yang ikut dalam kontestasi pemilu.
Berikutnya, Pemohon mempersoalkan ketiadaan larangan bagi Peserta Pemilu untuk menggunakan citra diri berupa foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar dan suara dengan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan secara digital ataupun teknologi artificial intelligence (AI) yang dianggap seolah-olah sebagai citra diri yang otentik. Melalui kecanggihan teknologi, Peserta Pemilu dapat melebih-lebihkan citra dirinya melebihi keadaan yang sebenarnya. Ketiadaan larangan ini dapat menyebabkan misinformasi bagi Pemilih sehingga berpotensi memanipulasi persepsi Pemilih terhadap kandidat. Menggiring Pemilih menggunakan hak pilihnya secara keliru (misguided voting). Pemohon menjelaskan, UU Pemilu belum mengatur seluk-beluk citra diri peserta pemilu yang akan dipergunakan dalam materi kampanye. Pembatasan penggunaan teknologi digital termasuk bantuan AI juga belum diatur. Akibatnya, peserta pemilu dapat dengan leluasa melakukan pemolesan tanpa batasan. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha M.