JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Sidang Pendahuluan uji materiil Pasal 216 ayat (2), Pasal 216 ayat (3), Pasal 379 ayat (2), Pasal 380 ayat (1), Pasal 380 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) pada Jumat (20/12/2024). Arivan Utama dan Muhammad Irfan selaku Pemohon dalam Perkara Nomor 177/PUU0XXII/2024 ini menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Pada Sidang Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, Lakso Anindito selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan. Salah satunya terkait Pasal 216 ayat (3) UU Pemda menyatakan “Inspektorat Daerah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah”.
Menurut para Pemohon norma Pasal 216 ayat (3) UU Pemda tersebut tidak terdapat kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, karena Inspektorat Daerah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Terlebih lagi Inspektorat Daerah yang berada di bawah kewenangan langsung Kepala Daerah tersebut berpotensi pada pengaruhnya yang kuat atas kepentingan politik lokal dan dapat pula menghambat pemberantasan korupsi di daerah.
Diakui para Pemohon, meskipun Pasal 8 ayat (3) UU Pemda telah mengamanatkan fungsi pengawasan internal pemerintah daerah melalui inspektorat yang berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri. Akan tetapi kedudukan Inspektorat Daerah yang tidak independen dengan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah, berakibat pada lemahnya efektivitas pengawasan.
“Sehingga dapat menciptakan konflik kepentingan dan inspektorat sering kali tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. Ketidakindependenan inspektorat tidak hanya berimplikasi pada lemahnya pengawasan, tetapi juga pada keterlibatan langsung mereka dalam praktik korupsi di daerah,” jelas Anindito.
Petitum
Untuk itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 216 ayat (2) UU Pemda, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Inspektorat Daerah mempunyai tugas membantu Menteri dalam membina dan mengawasi pelaksanaan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dan Tugas Pembantuan oleh Perangkat Daerah”; Pasal 216 ayat (3) UU Pemda, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Inspektorat Daerah dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Menteri melalui inspektur jenderal kementerian pada tingkat provinsi dan melalui inspektur provinsi pada tingkat kabupaten/kota.”
Menyatakan Pasal 379 ayat (2) UU Pemda, bertentangan dengan UUD1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur berkoordinasi dengan Inspektorat Provinsi,”; Pasal 380 ayat (1) UU Pemda, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Menteri melalui Gubernur berkewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Perangkat Daerah Kabupaten/Kota,”; Pasal 380 ayat (2) UU Pemda, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Gubernur berkoordinasi dengan Inspektorat Provinsi dibantu oleh Inspektorat Kabupaten/Kota.”
Legal Standing
Terhadap pengujian pasal-pasal ini, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyebutkan kedudukan hukum yang menjadi aspek paling krusial dari permohonan ini perlu diperjelas. Sebab Pemohon I sebagai advokat dan Pemohon II merupakan karyawan swasta, menjadi sulit untuk menempatkannya sebagai pihak yang memiliki legal standing. “Apa hubungannya dengan inspektorat daerah. Apa pernah ada kejadian yang ada relevansinya, misalnya diperiksa oleh inspektorat daerah. Ini tantangan utamanya, diskusi mendalam bagaimana supaya Mahkamah menilai para Pemohon memiliki legal standing,” jelas Guntur.
Sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam nasihatnya menyebutkan persoalan implementasi norma yang disampaikan para Pemohon sejatinya dapat menjadi pintu masuk, tetapi utamanya lebih dijelaskan lagi kepada pertentangan pasal yang diuji dengan konstitusi. “Para Pemohon harus menguraikan pertentangannya dengan jelas,” sampai Anwar.
Kemudian Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan catatan tentang legal standing yang cukup rumit untuk dijelaskan dan perlu fokus. Sebab pokok perkara yang disampaikan tidak hanya dilihat pada materi yang diujikan, tetapi dalam konteks otonomi dan desentralisasi pemerintah pusat dan daerah.
“Ini berkaitan dengan bab perangkat daerah, ini bagaimana menempatkan pada porsi desentralisasi dan otonomi daerah, di mana letak pertentangan normanya dengan konstitusi. Ini bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah, bagaimana ini diminta independen. Ada sistem evaluasi berjenjang, mulai dari gubernur hingga menteri dengan posisi masing-masing, bagaimana menjelaskan semua ini,” terang Enny.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Enny menyebutkan bahwa para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk memperbaiki permohonannya. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Kamis, 2 Januari 2025 ke Kepaniteraan MK. Untuk kemudian akan dijadwalkan sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.