JAKARTA, HUMAS MKRI – Dua sarjana hukum program studi (prodi) hukum tata negara, yakni Silvi Nudia Nazla dan Mohammad Fajar Ismail mengajukan pengujian materi Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Mereka mengaku hak konstitusionalnya dirugikan akibat pasal a quo yang mensyaratkan untuk menjadi seorang jaksa adalah memiliki ijazah paling rendah sarjana hukum pada saat masuk Kejaksaan.
Menurut keduanya, terjadi penyempitan makna frasa ’sarjana hukum’ pada pasal a quo yang mengakibatkan ketidakadilan bagi lulusan prodi serumpun seperti prodi Hukum Islam, Hukum Tata Negara, dan Hukum Pidana Islam. Para Pemohon mengatakan prodi itu memiliki keahlian hukum dan kompetensi pengetahuan yang relevan dan memadai di bidang penegakan hukum pidana karena sistem kurikulum dan distribusi mata kuliah yang diterapkan relatif sama dengan program studi Ilmu Hukum.
“Ketentuan yang termuat pada norma sepanjang frasa ‘sarjana hukum’ tersebut mengeksklusi dan mendiskualifikasi para Pemohon untuk menjadi seorang jaksa,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Muhammad Syarif Kusumojati, dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 178/PUU-XXII/2024 pada Kamis (19/12/2024) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat.
Para Pemohon dinilai tidak memenuhi persyaratan administratif untuk menjadi jaksa. Keduanya dinyatakan tidak lolos syarat administratif Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kejaksaan Agung untuk formasi Jaksa Ahli Pertama. Sebab, Silvia dan Fajar berstatus sarjana hukum bidang Hukum Tata Negara dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kualifikasi pendidikan para Pemohon dinyatakan tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan pada formasi kejaksaan yang dituju. Alasan verifikator menyebutkan program studi S1 Hukum Tata Negara tidak tercantum dalam Pengumuman Tentang Pelaksanaan Seleksi Pengadaan CPNS Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2024. Verifikator juga menolak sanggah yang diajukan para Pemohon dengan menegaskan kesesuaian kualifikasi pendidikan adalah syarat khusus yang harus dipenuhi oleh pelamar. Apabila ada nomenklatur program studi yang tidak termuat atau tidak sama persis sebagaimana Bab I poin A Pengumuman Seleksi Pengadaan CPNS Kejaksaan, maka dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Dengan demikian, secara aktual, ketentuan norma a quo menghambat lulusan sarjana hukum Islam dan/atau sarjana serupa yang serumpun di bidang hukum untuk mendaftarkan diri dalam profesi Jaksa. Para Pemohon seharusnya diakui secara sah dan tidak boleh dieksklusikan dari ketentuan kualifikasi seorang Jaksa hanya karena adanya interpretasi sempit pada frasa ‘sarjana hukum’.
Di sisi lain, penggunaan frasa ‘sarjana hukum’ banyak dijumpai dalam sejumlah undang-undang. Misalnya, Pasal 7 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) mengenai pesyaratan rekrutmen calon hakim di lingkungan lembaga peradilan yaitu berijazah sarjana hukum atau sarjana lain dan mempunyai keahlian di bidang hukum. Ketentuan ini justru bersifat alternatif. Pun begitu pada UU Perubahannya, Pasal 7 huruf a angka 3 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA menyebutkan syarat untuk diangkat menjadi Hakim Agung salah satunya harus memenuhi ketentuan berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk mengabulkan permohonan seluruhnya. Para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan frasa ‘sarjana hukum’ pada Pasal 9 ayat (1) huruf d UU 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sarjana hukum atau sarjana yang serumpun di bidang hukum”.
Penjelasan Kesetaraan Kompetensi Sarjana Hukum
Perkara Nomor 178/PUU-XXII/2024 ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arsul Sani dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur. Daniel mengatakan para Pemohon perlu mencari tahu original inten dari pasal a quo untuk dieksplor lebih jauh.
“Apakah memang itu dibatasi hanya untuk sarjana hukum atau diberi ruang untuk sarjana lain,” kata Daniel.
Kemudian menurut Ridwan, para Pemohon harus menguraikan dengan tegas mengenai kesetaraan kompetensi sarjana hukum atau sarjana yang serumpun di bidang hukum. Sebelum menutup persidangan, Arsul mengatakan para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas permohonan dimaksud paling lambat harus diterima Mahkamah pada Kamis, 2 Januari 2025. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina