JAKARTA, HUMAS MKRI - Seorang mahasiswa bernama Achmad Syiva Salsabila mengajukan uji materiil Pasal 288 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Perkara Nomor 174/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang Pleno pada Kamis (19/12/2024) ini dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih sebagai hakim anggota Majelis Sidang Panel.
Pasal 288 ayat (2) UU LLAJ menyatakan, “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di jalan yang tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).” Pasal tersebut menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 31 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
Menurut Pemohon, norma tersebut merugikan hak konstitusionalnya, terutama saat penerapan dan pengakuan SIM digital dalam kegiatan lalu lintas ketika razia yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Sebab pada pasal tersebut terdapat ambiguitas tafsir pada frasa "menunjukkan Surat Izin Mengemudi (SIM)" yang tidak menjelaskan secara eksplisit bentuk atau format SIM yang dapat diterima, berbentuk fisik (kartu) atau digital (SIM elektronik). Oleh karenanya Pemohon merasa ketidakjelasan pengaturan mengenai penerimaan dan standar SIM digital dalam proses penegakan hukum lalu lintas mencerminkan kegagalan negara dalam menjalankan Welfare State (negara kesejahteraan).
“Pemohon tetap dikenai sanksi yang mengikat walaupun memenuhi kewajiban administratif dengan memiliki SIM yang sah karena adanya ketidakjelasan dalam peraturan mengenai apakah SIM digital yang diterbitkan oleh kepolisian melalui aplikasi resmi diakui sebagai bukti sah kelayakan mengemudi. Pemohon merasa tidak mendapatkan keadilan dan kepastian hukum ketika menunjukkan SIM dalam bentuk digital yang tidak dianggap sah oleh pihak kepolisian pada saat razia lalu lintas, meskipun SIM elektronik tersebut telah diterbitkan secara resmi oleh Polri melalui aplikasi digital Korlantas,” sampai Syiva dalam sidang yang dihadirinya secara daring.
Kerugian Konstitusional
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny memberikan nasihat perbaikan, di antaranya uraian atas lima syarat kerugian hak konstitusional yang dialami Pemohon atas keberlakuan norma yang diujikan. “Hak konstitusional yang ada pada UUD 1945 yang berkaitan dengan kerugian Pemohon, apakah kerugiannya bersifat aktual atau potensial. Ini harus dijelaskan, apa yang dirugikan dengan berlakunya norma tersebut,” terang Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Anwar memberikan nasihat agar Pemohon mencermati putusan-putusan MK terkait dengan kebijakan serupa dengan yang diujikan dalam permohonan ini. Kemudian Hakim Konstitusi Daniel melihat pada bagian petitum yang perlu mencantumkan Lembaran Negara.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Daniel mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk memperbaiki permohonan hingga Kamis, 2 Januari 2025. Untuk kemudian naskah perbaikan dapat diberikan kembali ke Mahkamah Konstitusi agar dijadwalkan sidang berikutnya.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.