JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan)—khususnya Pasal 85 ayat (3), yang dinilai melanggar hak-hak pekerja. Perkara Nomor 175/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh dua orang mahasiswa, yakni Meida Nur Fadila Syuhada (sebagai Pemohon I) dan Priyoga Andikarno (sebagai Pemohon II). Para Pemohon mengajukan sejumlah keberatan yang menyoroti pelanggaran terhadap hak pekerja untuk hidup layak, keadilan dalam perlakuan, serta kepastian hukum.
Dalam persidangan, para Pemohon hadir secara daring tanpa didampingi kuasa hukum. Priyoga Andikarno menyatakan bahwa Pasal 85 ayat (3) UU Ketenagakerjaan memungkinkan pekerja untuk tetap bekerja pada hari libur resmi tanpa adanya pengaturan yang jelas mengenai kompensasi. Ia menilai hal tersebut mengabaikan kesejahteraan pekerja dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
“Ketentuan ini hanya mengatur kewajiban membayar upah lembur, tetapi tidak mencantumkan hak pekerja atas upah pokok sebagaimana yang diatur dalam upah minimum. Hal ini jelas menimbulkan ketidakadilan dalam hubungan kerja, di mana aturan tersebut cenderung menguntungkan pengusaha tanpa memberikan perlindungan yang cukup bagi pekerja,” jelas Priyoga.
Priyoga juga menambahkan bahwa Pasal 85 ayat (3) menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada kejelasan mengenai hak-hak pekerja yang bekerja di hari libur resmi. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan hak atas kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara.
“Pekerja yang melaksanakan kewajibannya bekerja pada hari libur resmi seharusnya tetap mendapatkan imbalan yang adil, termasuk upah pokok dan lembur. Namun, Pasal 85 ayat (3) hanya mencantumkan upah lembur, sehingga melanggar prinsip keseimbangan hak dan kewajiban dalam hubungan kerja. Ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” tegasnya.
Selain itu, Priyoga juga menyoroti bahwa ketentuan tersebut berdampak langsung pada kesejahteraan hidup pekerja. Tidak mencantumkan upah pokok dalam aturan bekerja di hari libur resmi, menurutnya, dapat merugikan pekerja dan bertentangan dengan kewajiban negara untuk menjamin penghidupan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Priyoga menyimpulkan bahwa ketentuan Pasal 85 ayat (3) juga mengabaikan hak asasi pekerja. “Upah merupakan hak asasi manusia yang fundamental bagi setiap pekerja. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin hak atas perlakuan yang adil dan penghormatan atas hak asasi manusia,” pungkasnya.
Menanggapi permohonan Para Pemohon tersebut Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyarankan Para Pemohon memperbaiki stuktur permohonan agar runut dan sistematis. Kemudian Ridwan juga meminta Para Pemohon agar melihat putusan-putusan yang ada di laman MK agar memiliki panduan dalam menyusun permohonan.
Terkait dengan kedudukan hukum, Ridwan menyebut jumlah halaman terlalu banyak tetapi belum menguraikan secara tepat mengenai kedudukan hukm yang baik menurut ketentuan.
“Saudara-saudara memang baru menerangkan kualifikasi sebagai warga negara meskipun sudah disebutkan lima syarat kerugian tetapi tidak saudara tidak menguraikannya. Saudara tidak perlu menguraikannya terlalu panjang sampai inti dari lima syarat itu sehingga untuk memudahkan memahami kerugian Pemohon parameter kerugian itu diuraikan secara berurutan dan satu persatu,” ujar Ridwan.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada Para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas perbaikan permohonan paling lambat pada Kamis, 2 Januari 2025.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina