JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945. Sidang Perkara Nomor 176/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Rabu (18/12/2024) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Perkara ini diajukan oleh Adam Imam Hamdana beserta 3 (tiga) rekannya, yakni Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani yang merupakan Mahasiswa. Para Pemohon merasa mengalami kerugian potensial karena tidak adanya kepastian hukum bagi Para Pemohon sebagai pemilih untuk memastikan bahwa mandat yang diberikan kepada wakil rakyat terpilih benar-benar dijalankan.
Pasal 426 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan: a......; b. mengundurkan diri; c......; d......”. Dalam persidangan, Adam selaku Pemohon I menyampaikan dalam Pasal 426 UU Pemilu yang mengatur penggantian Calon Terpilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, yakni dapat dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan mengundurkan diri yang mana tidak ada pembatasan atau definisi yang limitatif terhadap frasa mengundurkan diri. Sehingga dapat dijadikan celah oleh pemangku kepentingan untuk memanfaatkan pasal tersebut sebagai jaminan legalisasi untuk mengkhianati kepercayaan dan suara yang diberikan rakyat dalam koalisi pemilu.
“Para Pemohon merasa bahwa adanya calon legislatif terpilih yang mengundurkan diri merupakan bentuk pengkhianatan, serta tidak bertanggung jawab atas mandat yang diberikan langsung oleh rakyat, terlebih adanya alasan yang tidak serius. Sebagaimana mengutip dari pandangan Prof. Miriam Budiardjo, bahwa orang yang diberikan mandat melalui pemilu haruslah mempertanggungjawabkan mandat tersebut. Kondisi seperti ini, Yang Mulia, menciptakan suatu ketidakpastian terhadap pemilih yang hendak menyalurkan aspirasinya melalui calon yang dipilih,” ujar Adam di hadapan Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Pemohon juga mendalilkan dengan adanya pasal a quo, maka menimbulkan peluang setiap calon legislatif untuk sekadar tes saja, manakala suara yang didapatkan calon setelah dikalkulasikan menunjukkan tren yang positif, maka calon anggota tersebut akan mengundurkan diri dan berpindah haluan ke Pilkada. Menurut Pemohon, hal tersebut sangat berpotensi menjadikan suara rakyat tidak dihargai. Padahal penghargaan terhadap suara rakyat sudah menjadi semangat Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. Selain itu, dalam negara hukum yang berkedaulatan rakyat, penting untuk memposisikan kepentingan rakyat sebagai kepentingan utama karena sejatinya prinsip kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat. Sehingga dalam melaksanakan segala urusan berkenaan dengan tugasnya, para pemegang kekuasan harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi.
Dikatakan Adam, Putusan MK tersebut inheren dengan fenomena anggota DPR, DPD, dan DPRD yang melakukan pengunduran diri, dengan tanpa adanya limitasi yang jelas akan berpotensi terjadi praktik-praktik tukar suara rakyat dengan kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan lain yang tidak selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa prinsip paling pokok dari demokrasi adalah free and fairness (prinsip kebebasan memilih dan prinsip jujur adil).
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. “Menyatakan bahwa frasa mengundurkan diri dalam Pasal 426 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum kepada konstituen’,” tandas Adinia Ulva Maharani, Pemohon lainnya.
Perbaiki Kerugian Konstitusional
Menanggapi permohonan para Pemohon Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyarankan agar memperbaiki struktur permohonan. Kemudian, Guntur memperlihatkan hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional yang dialami dengan pasal yang diuji.
“Ini ‘kan untuk memperlihatkan causaal verband-nya. Ini lemah causaal verband-nya ini. Bahwa Anda punya hak pilih, tetapi supaya untuk menyatakan bahwa ini ada hubungan sebab-akibat, maka Anda mencantumkan bahwa contohnya ini apa?” jelasnya
Selain itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon untuk mengubah petitum permohonan. “Menurut para Pemohon, normanya ini mau dinyatakan inkonstitusional atau tetap konstitusional? Ya, kalau misalnya dia inkonstitusional, sepanjang tidak dimaknai dengan apa, ya. Atau norma ini tidak masalah, tetapi ingin dimaknai, ya. Ya, silakan, nanti dipertimbangkan, apakah mau inkonstitusional bersyarat atau konstitusional bersyarat?” sarannya.
Majelis Hakim memberikan waktu kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Adapun batas perbaikan permohonan adalah Selasa, 31 Desember 2024. (*)
Penulis: Utami Argawati/L.A.P
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan