JAKARTA, HUMAS MKRI - Sistem pemilu proporsional yang dijalankan telah teruji dalam perjalanan sejarah karena mampu menghasilkan badan perwakilan yang menampung keberagaman masyarakat di Indonesia. Bahkan sistem pemilu ini mampu menjaga kondisi sosial dan keutuhan negara. Namun demikian sistem pemilu ini sulit untuk menciptakan pemerintahan efektif. Oleh karenanya, perlu bagi pembuat undang-undang untuk membuat sedemikian rupa variabel sistem pemilu yang sesuai dengan tujuan bernegara.
Demikian keterangan yang disampaikan Didik Supriyanto selaku Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemohon ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (18/12/2024).
Pemerintahan Efektif
Dijelaskan oleh Didik bahwa tujuan pemilu sejatinya memuat tiga hal, yakni perwakilan politik, integrasi politik, dan pemerintahan efektif. Apabila melihat dengan baik kepada UUD 1945 utamanya Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 1 UUD 1945, maka dapat disimpulkan perumusan UU Pemilu yang berdasarkan konstitusi, yakni dengan membentuk badan perwakilan rakyat, menjaga keselamatan negara, dan menciptakan pemerintahan yang efektif. Pemerintahan yang efektif ini, sambung Didik, harus diciptakan karena terkait dengan tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tampah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. “Tanpa pemerintahan yang efektif, tujuan negara tidak akan tercapai dan hal inilah yang harus dirumuskan di UU Pemilu,” tegas Didik pada Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo.
Sistem Pemilu Proporsional
Dikatakan oleh Didik, sejak Pemilu 1955 hingga pemilu masa Orde Baru, masa transisi, dan pasca-reformasi menggunakan pemilu proporsional. Sistem pemilu ini sudah teruji oleh sejarah bangsa Indonesia, yang pada masa Orde Baru pernah hendak diubah menjadi pemilu kongruen atau distrik. Namun kemudian sistem ini berhasil bertahan dan dipertahankan sebagai sistem pemilu yang dijalankan Indonesia.
Didik mengungkapkan pemilu dengan sistem proporsional ini dapat dibuat dengan variabel sedemikian rupa sehingga tujuan bernegara tercapai dengan cara menentukan waktu penyelenggaraan pemilu dalam sistem presidensial. Ini menjadi penting karena pada sistem presidensial terdapat dua jenis pemilu, yakni pemilu legislatif dan pemilu eksekutif sehingga dengan mengatur penjadwalannya dapat disinyalir menghasilkan pemerintahan yang efektif.
Pengurangan Daerah Pemilihan
Diakui oleh Didik bahwa dalam pelaksanaan sistem presidensial ditemui beberapa permasalahan, di antaranya sistem kepartaian yang bersifat multipartai, pemerintahan terbelah (presiden terpilih atau pejabat eksekutif terpilih tidak dapat dukungan mayoritas terpilih), dan pemerintahan terputus (pemerintahan level pusat/nasional tidak sebangun dengan yang di daerah). Guna mengatasi permasalahan ini, Didik memberikan argumentasi agar dilakukan pengurangan besaran daerah pemilihan. Semula 3–10 untuk pemilihan DPR dan 3–12 untuk pemilihan DPRD, kemudian dapat disederhanakan menjadi cukup dengan 3–6 kursi saja untuk setiap pemilihan.
“Jalan ini tidak hanya bermanfaat untuk memudahkan pemilih dalam memberikan suara karena kandidat calon yang sedikit, tetapi dalam jangka panjang secara bertahap akan menyederhanakan sistem partai di parlemen, baik nasional dan daerah dan angka ini dipilih dengan mempertimbangkan unsur historis, sosiologis, serta politis dalam pemilu,” sampai Didik.
Evaluasi Kinerja Parpol
Selama 30 tahun terakhir, Didik melihat tidak terdapat kesempatan bagi para pemilih untuk mengevaluasi kinerja partai politik (parpol). Selama ini parpol seolah-olah tidak bertanggung jawab dengan keterpilihan anggota partainya, bahkan ini tampak pada pemilihan kepala daerah. Menurut Didik, hal ini terjadi karena pihak yang melakukan kampanye dan pihak yang mencari suara bukan para anggota parpol tetapi tim kampanye pasangan calon kepala daerah yang maju dalam kontestasi.
“Sehingga ketika kinerja dari paslon terpilih itu kelak adalah buruk, kualitasnya tidak bagus, maka partai bisa saja lepas tangan. Inilah masalah di pemerintahan daerah. Dengan jarak waktu pemilu nasional dan daerah yang diberi dua tahun ini, karena selain siklus lima tahunan agar partai memiliki kesempatan untuk konsolidasi, maka setelah masa lima tahun pada pemilihan berikutnya bisa jadi ada perubahan koalisi dan konsolidasi yang harus diperkuat,” jelas Didik.
Baca juga:
Perludem: Pemilu Serentak Lima Kotak Melemahkan Pelembagaan Partai Politik
Perludem Perkuat Argumentasi Uji Pemilu Serentak Lima Kotak
Sidang Uji Keserentakan Pemilu Ditunda
DPR Akan Evaluasi Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang mengujikan Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu, dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada).
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Jumat (4/10/2024), Perludem melalui tim kuasa hukumnya menyebutkan pemilu serentak lima kotak telah melemahkan pelembagaan partai politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, dan menurunkan kualitas kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu. Sebab dalam pandangan Pemohon, pengaturan keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak lagi bisa hanya dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja, apalagi disederhanakan soal teknis, dan implementasi undang-undang saja.
Selain itu, pengaturan jadwal penyelenggaraan pemilu akan berdampak sangat serius terhadap pemenuhan seluruh asas penyelenggaraan pemilu yang termuat dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 serta berdampak pada kemandirian dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu dalam Pasal 22E Ayat (5) UUD NRI 1945. Sehingga pengaturan pada undang-undang tersebut yang memerintahkan pelaksanaan pemilu Presiden, DPR, DPD, yang dibarengi dengan pemilu anggota DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah terbukti terus-menerus membuat partai politik tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik untuk mencalonkan anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus. Akibatnya, partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik ketika para pemilik modal, caleg popular dan punya materi yang banyak untuk secara transaksional dan taktis dicalonkan karena partai tidak lagi punya kesempatan, ruang, dan energi untuk melakukan kaderisasi dalam proses pencalonan anggota legislatif di semua level pada waktu yang bersamaan.
Dalam petitum, Perludem antara lain meminta MK menyatakan Pasal 1 ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” bertentangan dengan UUD NRI 1945, sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden pada pelaksanaan pemilu nasional, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota pada pelaksanaan pemilu daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.