JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 167/PUU-XXII/2024 menyampaikan perbaikan permohonan pengujian norma Pasal 163 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (18/12/2024). Para Pemohon yang terdiri dari Caroline Gabriela Pakpahan, M Nurrobby Fatih, Abednego Paniroi Rafra Gurning, dan Muhammad Thoriq Classica Perdana mengatakan terdapat perbedaan kedudukan lembaga penyelenggara pemilu antara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
“Penyelenggara pemilu seharusnya memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan lembaga penyelenggara pemilu lainnya,” ujar kuasa para Pemohon, Sandy Yudha Pratama Hulu di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Para Pemohon menguraikan empat poin posita permohonan. Satu, DKPP sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri harus dipertahankan eksistensinya sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang mengikuti independent model sesuai dengan karakteristik sistem ketatanegaraan Indonesia. Dua, DKPP sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu harus menjalankan tugas dan fungsinya secara setara dan sederajat dengan lembaga penyelenggara pemilu lainnya.
Tiga, kemandirian lembaga DKPP tidak terpisahkan dari status kesekretariatan DKPP yang tidak boleh diintervensi unsur kekuasaan apapun. Empat, perubahan nomenklatur struktur DKPP dari sekretariat menjadi sekretariat jenderal yang akan menjamin penegakan etika penyelenggara pemilu yang efektif dan tanpa intervensi serta akan mengukuhkan posisi DKPP sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang independen.
Menurut para Pemohon, keberadaan Sekretaris DKPP dalam UU Pemilu saat ini tidak mencerminkan kebutuhan struktur organisasi modern yang sejalan dengan kompleksitas tugas DKPP. Hal ini berpotensi menghambat pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DKPP secara optimal. Padahal, kata para Pemohon, dengan adanya kesetaraan dalam mekanisme pengangkatan Sekretaris Jenderal KPU, Bawaslu, dan DKPP akan tercipta keseimbangan peran dan tanggung jawab antarlembaga penyelenggara pemilu yang saling mendukung satu sama lain dalam menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.
Sekretaris DKPP yang saat ini menjabat sebagai pejabat eselon II memiliki keterbatasan wewenang, baik dalam aspek administrasi, anggaran, maupun koordinasi lintas sektor. Hal ini tidak memadai untuk mendukung peran DKPP sebagai lembaga pengawas etika penyelenggara pemilu yang independen dan profesional. Apabila jabatan Sekretaris DKPP tetap berada pada posisi eselon II berpotensi menciptakan ketimpangan wewenang dan tidak mampu menjawab kebutuhan strategis DKPP dalam mendukung fungsi pengawasan etika penyelenggara pemilu.
Para Pemohon mengatakan tranformasi Sekretaris DKPP menjadi Sekretariat Jenderal DKPP akan memberikan landasan hukum yang kuat untuk pembentukan unit kerja yang lebih terstruktur dan terkoordinasi, termasuk biro-biro pendukung yang relevan dengan kebutuhan operasional. Kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon yaitu terhambatnya pelaksanaan fungsi DKPP secara maksimal dapat dijawab dengan penguatan kelembagaan melalui perubahan jabatan Sekretaris DKPP menjadi Sekretaris Jenderal DKPP sebagai pejabat eselon I. Hal ini sejalan dengan prinsip negara hukum yang menjunjung tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Baca juga: Uji Konstitusionalitas Ketentuan Sekretaris DKPP Diangkat dan Diberhentikan oleh Mendagri
Sebagai informasi, Pasal 163 ayat (3) UU Pemilu menyatakan Sekretaris DKPP diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut secara jelas menandakan adanya intervensi unsur pemerintah penunjukkan struktural kelembagaan DKPP melalui Kementerian Dalam Negeri. Hal ini berpotensi mengkurasi independensi DKPP dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 162 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “untuk mendukung kelancaran tugas dan wewenang DKPP, dibentuk Sekretariat Jenderal DKPP.” Pemohon juga meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 163 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Pemilu dimaknai kembali sesuai keinginan para Pemohon. Untuk Pasal 163 ayat (3) para Pemohon menginginkan sepanjang frasa “diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul DKPP. Dengan demikian pasal a quo sebagaimana petitum para Pemohon menjadi “Sekretaris DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul DKPP.”
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Persidangan ini pun akan dilaporkan ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dihadiri setidaknya tujuh orang hakim konstitusi untuk diputuskan apakah akan berlanjut ke sidang pemeriksaan lanjutan atau akan diputus tanpa melalui sidang pleno.(*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan