JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (17/12/2024), di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan diajukan oleh Aniek Trisolawati dan Idha Achira Handajanti seorang Ibu Rumah Tangga beserta Indri Marini Akbar dan Donny yang berprofesi sebagai Karyawan Swasta. Para Pemohon merasa dirugikan akibat proses kepailitan PT. Crown Porcelain dan PT. Cakrawala Bumi Sejahtera, pengembang Apartemen Point 8. Mereka meminta agar proses kepailitan bisa lebih cepat dan transparan.
Agenda sidang Perkara Nomor 112/PUU-XXII/2024 kali ini yakni mendengar keterangan Mahkamah Agung (MA) dan Ahli Pemohon. Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, MA yang diwakili Fikri Habibi mengatakan, bagi dunia usaha, kepastian waktu dalam proses pemberesan harta pailit adalah faktor yang sangat penting. Ketidakpastian dalam penyelesaian kepailitan dapat berdampak negatif kepada kepentingan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semakin lama proses pemberesan berlangsung, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan dan risiko munculnya sentimen negatif terhadap aset atau entitas yang bersangkutan juga semakin meningkat. Hal ini juga nantinya berdampak langsung terhadap penilaian iklim berusaha di Indonesia sebagaimana indikator business ready atau be ready yang digunakan World Bank sebagai parameter penilaian iklim investasi dan iklim berusaha di suatu negara.
“Limitasi waktu yang diajukan Pemohon terhadap Pasal 74 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 185 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU merupakan usulan yang rasional untuk dipertimbangkan setelah memperhatikan kemungkinan pelaksanaannya dan komparasi pengaturannya pada beberapa negara lain. Limitasi waktu harus mencerminkan dan mempertimbangkan prinsip hukum, efisiensi, kepastian, dan pelindungan hak semua pihak. Beberapa negara telah menerapkan pembatasan waktu yang dimaksud dengan limitasi yang beragam. Penentuan pembatasan waktu juga harus dipertimbangkan dengan memperhatikan faktor-faktor terkait.,” ujarnya.
Oleh sebab itu, sambung Fikri, jangka waktu tiga tahun dengan dapat diperpanjang dua tahun merupakan tenggang waktu yang ideal bagi kurator untuk melaksanakan tugasnya.
Perlu Batasan Waktu
Sementara Ahli Pemohon, Ismail, menyebutkan lahirnya UU Kepailitan adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu, diperlukan perangkat hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif.
Namun pada kenyataan, keberlakuan ini justru menimbulkan hal yang berbeda dengan apa yang diharapkan. Hal tersebut terlihat dari ketentuan Pasal 74 ayat (1) UU Kepailitan yang menyatakan bahwa kurator harus menyampaikan laporan kepada hakim pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap tiga bulan.
Menurut Ismail, ketentuan Pasal 74 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 185 ayat (3) UU Kepailitan bertentangan dengan norma dasar yang diatur dalam Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Ismail, untuk mewujudkan kepastian hukum ketiga pasal tersebut perlu ditambah norma tentang batasan waktu, sehingga kurator dalam menyelesaikan kewajiban dapat terpenuhi kepastian hukumnya.
Baca juga:
Pembeli Apartemen Uji Batas Waktu Penyelesaian Harta Pailit
Pembeli Apartemen Perbaiki Uji Batas Waktu Penyelesaian Harta Pailit
DPR dan Pemerintah Belum Siap Beri Keterangan dalam Sidang Uji UU Kepailitan
Tanggapan DPR dan Pemerintah Ihwal Uji Tenggat Penyelesaian Harta Pailit
Asosiasi Kurator Bantah Pelanggaran Hak Konstitusional dalam UU Kepailitan
MA dan Ahli Belum Siap Beri Keterangan Uji Materi UU Kepailitan
Sebagai tambahan informasi, sejumlah pembeli apartemen menguji Pasal 74 ayat (1) dan ayat (3) Juncto Pasal 185 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) ke MK. Para Pemohon Perkara Nomor 112/PUU-XXII/2024 ini yakni Aniek Trisolawati dan Idha Achira Handajanti yang berprofesi Ibu Rumah Tangga, serta Indri Marini Akbar dan Donny yang berprofesi sebagai Karyawan Swasta.
Para Pemohon merasa dirugikan akibat proses kepailitan PT Crown Porcelain dan PT Cakrawala Bumi Sejahtera, selaku pengembang Apartemen Point 8 yang terletak di Jalan Daan Mogot Km. 14, Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka meminta agar proses kepailitan bisa lebih cepat dan transparan.
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (2/9/2024), Para Pemohon yang diwakili oleh Heriyanto mengatakan para Pemohon hingga detik ini tidak mengetahui batas akhir pelaksanaan tugas Tim Kurator debitor pailit PT Crown Porcelain dan debitor pailit PT Cakrawala Bumi dalam melakukan pemberesan harta pailit. Menurut para Pemohon, kejelasan waktu dalam pemberesan boedel pailit seharusnya dimulai dengan penetapan batasan waktu yang spesifik untuk setiap tahap proses kepailitan.
Batasan waktu yang tegas tersebut akan menghindarkan penafsiran yang ambigu dan memberikan panduan yang jelas bagi semua pihak yang terlibat. Ketidakpastian tersebut dapat menimbulkan kebingungan, kecemasan, dan bahkan memperpanjang tekanan finansial yang mungkin dihadapi oleh debitur, terutama jika ada aset yang tertunda untuk dijual atau dibagi.
Dalam petitum permohonan yang telah telah diperbaiki, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 74 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan, “Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan dan harus menyelesaikan pemberesan harta pailit serta seluruh pelaksanaan tugasnya dengan jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak pernyataan putusan pailit diucapkan”.
Kemudian para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 74 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan, “Hakim Pengawas dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hakim Pengawas hanya dapat memperpanjang jangka waktu laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan.”
Selanjutnya meminta MK menyatakan Pasal 185 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan, “Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas” adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.