JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang uji materiil UU P3 yang diajukan oleh Ahmad Farisi yang berprofesi sebagai peneliti dan pengamat serta A. Fahrur Rozi yang merupakan Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (17/12/2024). Sidang kedua untuk menguji Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Sejumlah perbaikan permohonan Perkara Nomor 165/PUU-XXII/2024 telah dilakukan sesuai dengan saran Panel Hakim. Kholiq Hadi Rohman selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan pokok-pokok perbaikan permohonannya, di antaranya alasan permohonan. Menurut para Pemohon rumusan pasal a quo bersifat rancu secara terstruktur dan berpotensi disalahgunakan. Dalam keadaan tertentu DPR dan Pemerintah dapat mengajukan rancangan undang-undang di prolegnas untuk mengatasi keadaan luar biasa, konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lainnya atas adanya urgensi nasional.
“Memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan Pasal 23 ayat (2) UU P3 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘dalam keadaan tertentu yang memastikan adanya urgensi nasional, DPR atau presiden dan mengajukan rencana undang-undang di luar prolegnas, mencakup a. keadaan luar biasa, b. keadaan konflik, c. keadaan bencana alam’,” ucap Moh. Ali Murtado membacakan petitum permohonan di hadapan Majelis Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Arsul Sani sebagai hakim anggota.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Aturan Pembentukan Undang-Undang di Luar Prolegnas
Pada Sidang Pendahuluan, Rabu (4/12/2024) lalu di hadapan para hakim konstitusi di Ruang Sidang Panel MK secara daring, Fahrur mengungkapkan Pasal 23 ayat (2) UU P3 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan berdasarkan norma tersebut Pemohon I merupakan perorangan warga negara Indonesia yang aktif dan fokus melakukan kajian dan penelitian terhadap isu-isu ketatanegaraan, demokrasi, dan kepemiluan. Pemohon I merasa bertanggung jawab dan memiliki kepentingan secara khusus terhadap pengetahuan akademik ihwal sistem ketatanegaraan yang berlaku, baik secara epistemik maupun sistemik terhadap keberlakuan suatu norma undang-undang yang membatasi dan membatalkan hak-hak konstitusional warga negara. Sementara Pemohon II merupakan mahasiswa aktif jurusan Hukum Tata Negara yang tergabung dalam sejumlah organisasi kemahasiswaan tingkat nasional, yang berfokus pada isu-isu ketatanegaraan dan aktif melakukan diskusi dan advokasi terhadap keputusan dan kebijakan pemerintah.
Terkait norma ini, para Pemohon tidak dapat mengidentifikasi secara jelas konsep dan konteks penerapan norma dalam sistem dan mekanisme pembentukan undang-undang. Menurut para Pemohon, Pasal 23 ayat (2) UU P3 seolah menjadi pasal mati yang tidak memberikan kejelasan dan kepastian hukum politik hukum pembentukan suatu undang-undang dapat dijalankan. Jika dibaca secara sistematis, sambung Fahrur, pasal a quo memberikan landasan kewenangan bagi DPR/Pemerintah untuk mengajukan rancangan suatu undang-undang di luar prolegnas (program legislasi nasional) dengan klausul ketentuan yang berulang, tumpang tindih, serta tolok ukur yang ambigu.
Dalam pandangan para Pemohon, Pasal 23 ayat (2) huruf b UU 15/2019 yang mengatur tentang pembentukan undang-undang di luar prolegnas dalam keadaan tertentu tersebut tidak memuat ukuran yang jelas dan pasti bagaimana pembentukan undang-undang yang hanya didasarkan pada klausul ‘urgensi nasional’ dan menitik beratkan pada ‘persetujuan’ antara pemerintah dan DPR.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina