JAKARTA, HUMAS MKRI - Sanksi pada UU ITE lebih berat dari sanksi yang ada pada KUHP, karena mengatur dunia cyber yang sifatnya borderless dan berulang dengan konten komunikasi yang bersifat destruktif, akibatnya jauh lebih buruk dibanding di dunia nyata atau fisik. Sehingga UU ITE ini dibuat dalam pelaksanaannya harus mengutamakan motif dari kebencian atau permusuhan yang ditimbulkannya terhadap orang lain, individu, atau masyarakat. Oleh karenanya, norma dalam UU ITE secara lex certa sudah sangat jelas dan dibutuhkan negara guna melindungi kebhinekaan dan bahkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini mencegah dehumanisasi serta melindungi kelompok minoritas dari diskriminasi.
Demikian disampaikan Henri Subiakto dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Selasa (17/12/2024). Sidang ini digelar untuk dua perkara sekaligus yakni Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan dan Perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Jovi Andrea Bachtiar (Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia). Pemerintah/Presiden menghadirkan Henri Subiakto, Ahli ITE sekaligus Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga ini untuk memberikan keterangan berkaitan dengan pengujian Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) dan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE 2024.
Secara lebih tegas Henri mengatakan pada Pasal 156 KUHP sanksi lebih bersifat formil, yang menilai segala sesuatu hanya pada perbuatannya saja, sedangkan akibatnya tidak diperhatikan. Namun pada pasal tersebut unsur formil dan materiilnya dipertegas, sehingga dalil pada pasal ini tidak mudah diterapkan dalam segala keadaan. Sayangnya dalam keseharian, sambung Henri, noma ini justru dipakai dengan serta-merta tanpa melihat korbannya. Padahal dalam UU ITE ini ada istilah mentransmisikan dan bukan hanya soal mendistribusikan saja. Karena norma ini melihat pada era digital sekarang yang terjadi adalah fenomena informasi tersebar ke jutaan orang melalui self to self of communication, di mana komunikasi tak hanya disampaikan secara terbuka di depan umum, tetapi dari satu orang ke satu orang dan sebarannya sangat luas dalam menyebarkan hasutan atau pornografi.
“Oleh karenanya, makna hasutan pada Pasal 28 ayat (2) UU ITE ini memuat larangan perbuatan aktif untuk mendistribusikan dan mentransmisikan, termasuk mengajak dan memicu emosi personal dengan sasaran orang yang berbeda ras, kebangsaan, etnis, dan lainnya. Maka kelompok minoritaslah dalam hal ini yang dijaga negara dari kekerasan, diskriminasi. Namun pada kenyataannya di lapangan ini berlaku terbalik, jadi pelaksanaannya yang terbalik, bukan normanya yang salah, lagi-lagi implementasinya yang salah,” jelas Henri.
Perlindungan Negara
Henri mengatakan bahwa negara wajib melindungi seseorang, kelompok, atau masyarakat dari objek hasutan dan ujaran kebencian, karena ujaran demikian awalnya hanya menimbulkan strereotype, tetapi lama-kelamaan dapat merampas hak asasi dan bahkan merugikan kehidupan pihak lain terutama kelompok minoritas. Kemudian terkait dengan ketentuan pada Pasal 27A UU ITE, Henri mengatakan norma ini sudah jelas bahwa orang atau pihak yang berhak mengadu adalah nama dan orang yang disebut dalam ujaran tersebut dan bukan oleh badan hukum.
Sedangkan terkait frasa “suatu hal” dalam Pasal 27A UU ITE sejatinya bermakna suatu perbuatan yang dituduhkan dan bukan penilaian dari seseorang. Sementara frasa “tanpa hak“ dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, bermakna negara melindungi profesi, di antaranya, pertama, wartawan yang diperbolehkan untuk menyebarkan informasi berupa hasutan yang isinya fakta; kedua, peneliti yang diperbolehkan untuk menyebarkan suatu hasutan selama hal tersebut berkaitan dengan objek yang sedang ditelitinya; dan ketiga, penegak hukum yang boleh menyebarkan hasutan dengan catatan sebagai upaya penyidikan hukum. Dengan demikian, makna frasa pada norma tersebut menitikberatkan untuk melindungi profesi-profesi tertentu yang juga berlaku di berbagai negara.
Baca juga:
Aktivis Unggah Konten Video Pencemaran Lingkungan Berujung Penahanan Berdasar UU ITE
Aktivis Lingkungan Sempurnakan Dalil Permohonan Uji UU ITE
Untuk diketahui, permohonan Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Pada Sidang Pendahuluan yang digelar di MK, Senin (26/8/2024) lalu, tim kuasa hukum Daniel Frits Maurits Tangkilisan (Pemohon) mengungkapkan, Pemohon adalah aktivis lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali). Pemohon kerap memperjuangkan, melestarikan, dan mempromosikan kesadaran terhadap perlindungan lingkungan hidup melalui pelbagai platform media sosial dengan memuat konten atau materi dengan tema perlindungan lingkungan hidup.
Pemohon merasa menjadi “korban” dari UU ITE yang diterapkan secara “karet”. Hal ini bermula dari konten video yang Pemohon unggah pada laman Facebook-nya yang menunjukkan tercemarnya salah satu pantai di Karimun Jawa. Video tersebut ternyata menimbulkan pelbagai reaksi dari pengguna Facebook.
Pernyataan Pemohon dalam konten video tidak ditujukan pada orang tertentu dan tidak pula ditujukan untuk menimbulkan kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antar golongan. Namun Pemohon tetap dikenai proses hukum berupa penahanan. Pemohon diproses dengan menggunakan (i) Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2); atau (ii) Pasal 45 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE 2016. Dengan demikian, menurut Pemohon, jelas telah terjadi pelanggaran hak konstitusional Pemohon.
Singkatnya, Pemohon berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jepara dinyatakan bersalah sebagaimana UU ITE lama (UU ITE 2016). Pada Mei 2024, Pengadilan Tinggi Semarang melepaskan Pemohon dari dakwaan, namun Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap putusan Nomor 374.PID.SUS/2024/PT SMG. Hal ini dikhawatirkan berpotensi pada diadilinya Pemohon menggunakan UU ITE baru (2024) dan karenanya Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan perkara ini ke MK.
“Terkait dengan Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE utamanya frasa ‘orang lain’ menurut Pemohon hal ini tidak memberikan kepastian hukum. Bahwa spektrum ‘korban’ yang dilingkupinya sangat luas, sehingga siapapun dapat menjadi objek pengaduan. Untuk itu, perlu dilakukan pembatasan penafsirannya yang dapat dimanifestasikan dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023),” sebut Damian Agata Yuvens selaku kuasa hukum Pemohon.
Baca juga:
Jaksa Tersandera Kriminalisasi Berdasarkan UU ITE Usai Posting Kritik
Jaksa Sempurnakan Dalil Permohonan Uji UU ITE Soal Kritik di Medsos
Sedangkan permohonan Perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024 diajukan Jovi Andrea Bachtiar (Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia). Pada sidang pendahuluan di MK, Selasa (3/9/2024) lalu, Pemohon melalui tim kuasa hukumnya menyebutkan bahwa Pemohon sedang dalam proses hukum atas laporan pengaduan ke Kepolisian Resor Tapanuli Selatan terkait kritik di media sosial (medsos) terhadap penyelenggara negara yang dinilainya menyalahgunakan kewenangan dengan menggunakan fasilitas negara secara sembarangan. Akibatnya, Pemohon dilaporkan dan ditahan di wilayah hukum Kepolisian Resor Tapanuli Selatan. Dalam pandangan Pemohon, ketidaksediaan seorang ASN yang dikirik tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya ketidakjelasan dalam memaknai frasa “dilakukan demi kepentingan umum” dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP dan frasa “untuk kepentingan umum” dalam Pasal 45 ayat (7) UU ITE.
Pada hakikatnya, Pemohon menilai pasal-pasal tersebut berpotensi membuka posibilitas untuk mengkriminalisasi sebagaimana yang dialami Pemohon hanya karena mengkritik sesama penyelenggara negara. Oleh karenanya, Pemohon menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945.
Untuk itu, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “dilakukan demi kepentingan umum” dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk juga “kritik terhadap kebijakan pemerintah, kritik terhadap penyelenggara negara agar tidak menyalahgunakan kewenangan atau berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan kritik agar penyelenggara negara tidak menggunakan fasilitas negara secara sembarangan apalagi tanpa hak.” Sehingga rumusan Pasal 310 ayat (3) KUHP berubah menjadi, “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan untuk membela diri atau demi kepentingan umum seperti kritik terhadap kebijakan pemerintah, kritik terhadap penyelenggara negara agar tidak menyalahgunakan kewenangan atau berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan kritik agar penyelenggara negara tidak menggunakan fasilitas negara secara sembarangan apalagi tanpa hak.
Baca juga:
DPR dan Presiden Minta Penundaan Sidang Pengujian UU ITE
Pembatasan dalam UU ITE Guna Menjaga Keseimbangan Kebebasan Berekspresi
Ahli: Kegagalan Memahami Perkembangan Menyebabkan Ketentuan Pidana dalam UU ITE Rawan Disalahgunakan
Ahli Jelaskan Konsep Konstitusionalisme Keadilan Digital
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.