JAKARTA, HUMAS MKRI - M. Nasser, Sudigdo Sastroasmoro, dan 18 Pemohon lainnya yang berprofesi di antaranya sebagai dokter, pemerhati/ahli hukum kesehatan, aktivis organisasi profesi, mengujikan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Perkara Nomor 171/PUU-XXII/2024 ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo, pada Senin (16/12/2024) di Ruang Sidang Panel MK. Para Pemohon melalui kuasa hukum M. Djunaidi mendalilkan Pasal 311 ayat (1), Pasal 268 ayat (2), Pasal 269, Pasal 270, Pasal 203 ayat (1), Pasal 220 ayat (2), Pasal 263 ayat (5) dan Pasal 291 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28H UUD NRI Tahun 1945.
Penyatuan Konsil Kesehatan
Para Pemohon mempersoalkan konsil kesehatan pada Pasal 268 (2) UU Kesehatan tentang kedudukan Hukum Konsil melalui Menteri, dan Pasal 269 dan Pasal 270 UU Kesehatan tentang penyatuan tenaga medis dan tenaga kesehatan ini. Para Pemohon menyebutkan dalam kenyataan dan kebutuhan lapangan, Konsil harus mengatur berbagai hal tidak saja registrasi dokter/dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya, tetapi juga mengatur perkembangan dan teknologi ilmu kedokteran dengan berbagai aturan dan regulasi.
Menurut para Pemohon, dengan penyatuan Lembaga Konsil Kedokteran dan Konsil Tenaga Kesehatan sebagaimana disebut dalam Pasal 269 dan Pasal 270 UU Kesehatan ini, mempersulit ruang lingkup dalam pengawasan praktik profesi dokter/dokter gigi. Sebab ada disparitas perbedaan kewenangan, kompetensi, independensi antara profesi medis dan profesi tenaga kesehatan.
Pengaturan Standar Kompetensi
Berikutnya soal “melampaui kewenangan atau tidak berwewenang atau bertindak sewenang-wenang“ oleh menteri yang mengatur urusan pemerintahan di bidang kesehatan, para Pemohon memberikan alasan hukum. Bahwa ijazah dokter atau dokter gigi dikeluarkan oleh Fakultas Kedokteran, setelah melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan dinyatakan lulus ujian profesi dan memperoleh ijazah dokter yang juga dapat berlaku sebagai Sertifikat Profesi. Guna mencapai standar kompetensi seorang dokter, wajib mengikuti Uji Kompetensi yang dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan bekerja sama dengan Kolegium terkait untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi.
“Untuk menjaga standar keilmuan tetap up to date, sertifikat kompetensi harus diperbarui setiap lima tahun agar mendorong para dokter untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu kedokteran mutakhir. Oleh karenanya pengaturan standar kompetensi tenaga medis yang tidak sesuai dengan proporsi kepatutan dalam pengaturan bernegara, berpotensi melahirkan risiko pada warga negara yang mendapat pelayanan kesehatan sehingga dapat melanggar pasal 28D dan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945,” jelas Djunaidi dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Lampaui Kewenangan
Kemudian para Pemohon menyebutkan sehubungan dengan standar profesi yang menjadi turunan sertifikat profesi hanya diberikan oleh sebuah tim yang telah dipilih dan terpilih melalui proses akademik yang benar dan tidak main-main. Maka pelibatan Kolegium dan Konsil disiplin profesi menjadi jalan tengah terbaik agar birokrasi pemerintahan tidak mencampuri terlalu jauh urusan profesionalisme profesi. Akan tetapi campur tangan terlalu jauh dari menteri pada urusan yang menyangkut core profesi ini bertentangan dengan Pasal 28C UUD 1945.
Pada faktanya urusan pendidikan kedokteran yang menyangkut pendidikan profesi, apalagi terkait dengan ilmu dan skill menjadi ranah objektif dan juga subjektif di bawah ruang lingkup Kementerian, yang bertanggung jawab di bidang Pendidikan Tinggi. Apabila ada Kementerian lain yang ikut mengintervensi atau menginvasi ranah ini, maka perlu dicegah terjadinya tindakan atau perbuatan yang melampaui kewenangan atau bahkan menghindari bertindak di luar kewenangan atau berpotensi melampaui kewenangan.
Belum Memenuhi Syarat
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan nasihat bahwa permohonan belum memenuhi syarat dari komponen yang harus ada dalam permohonan sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). Kemudian terkait dengan kedudukan hukum para Pemohon, Enny menyarankan agar 20 Pemohon diuraikan satu per satu, dijelaskan kualifikasi masing-masingnya.
“Untuk menunjukkan bagian berikutnya yakni syarat kerugian hak konstitusional yang belum ada pada permohonan ini. Setelahnya, apakah kerugian bersifat spesifik, potensial, dan kausalitasnya dengan berlakunya norma,” jelas Enny.
Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam nasihatnya mengatakan perlu bagi para Pemohon untuk memperjelas kategori uji materiil dari sembilan pasal yang dimohonkan pada perkara ini, sehingga publik mengetahui pengujian yang dimaksudkan dalam persidangan ini. Kemudian terkait dengan ke-20 prinsipal pada permohonan ini, haruslah diperjelas satu demi satu guna mengetahui legal standing para Pemohon dalam pengajuan permohonan.
“Pada posita ini bagaimana para Pemohon mengkonteskan antara norma pasal yang diuji dengan dasar pengujian dalam UUD 1945. Ada tiga dasar pengujian ini, ini tak sekadar dicantumkan tetapi dijelaskan bagaimana sembilan pasal ini ada tidak kaitannya dan kalau bisa meyakinkan hakim kalau hal ini bertentangan dengan norma dalam UUD 1945. Ini pengujian materiil, ini tantangannya karena terkait isu konstitusionalitas norma,” terang Guntur.
Pada penghujung persidangan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 30 Desember 2024 ke Kepaniteraan MK. Untuk kemudian Mahkamah akan menjadwalkan sidang berikutnya dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.
.