JAKARTA, HUMAS MKRI – Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar menjadi Ahli yang dihadirkan Presiden untuk memberikan keterangan dalam sidang pengujian materi Pasal 7 ayat 57, Pasal 7 angka 6, dan Pasal 276 angka 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Zainal Arifin Mochtar yang akrab disapa Uceng itu mengatakan kata ‘persetujuan’ yang termuat dalam pasal-pasal tersebut membacanya sangat mungkin dikaitkan dengan ‘kontrol’ dan bukan untuk memindahkan kewenangan.
“Kontrol yang dilakukan oleh negara karena anggaran tersebut merupakan bagian dari kewajiban negara untuk menjaga warga negara agar penggunaan pungutan ataupun iuran yang ada tidaklah digunakan secara serampangan, tetapi sekali lagi tidak bersifat mengganggu independensi dalam menjalankan fungsi,” ujar Uceng dalam sidang Perkara Nomor 85/PUU-XXII/2024 dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Presiden pada Senin (16/12/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Selanjutnya, kata Uceng, yang wajib dipikirkan kemudian adalah bagaimana menempatkan fungsi kontrol tersebut tetap berjalan, tetapi tidak mengganggu independensi. Dalam penalaran hukum yang dapat dilakukan ada beberapa hal yang harus digarisbawahi yaitu harus dilakukan pemaknaan ulang terhadap beberapa hal agar tidak mengubah itikad kontrol menjadi pengganggu atas independensi.
Uceng mengatakan kata ‘persetujuan’ ada baiknya untuk ditafsirkan kembali guna menghilangkan kesan berpindahnya kewenangan. Dalam hal ini dibanding menafsirkannya menjadi ‘pertimbangan bersama’. Selain untuk menghilangkan kesan bahwa ada intervensi eksekutif ke lembaga negara independen, tetapi juga untuk meneguhkan praktik yang sebenarnya sudah dilakukan selama ini.
Dalam keterangan Pemerintah sudah disampaikan adanya Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) bersama antara Kementerian Keuangan yang ditandatangani oleh Sri Mulyani dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) oleh Purbaya Yudhi Sadewa bertanggal 10 Oktober 2024. Adanya MOU ini sebenarnya, sudah meneguhkan kata "persetujuan" ini sebagai "persetujuan bersama". Sehingga relatif menjadi mudah jika ke depan, frasa "persetujuan" harus dibaca sebagai "persetujuan bersama".
Hal berikutnya yang harus dilakukan adalah meneguhkan mana batas antara operasional murni, operasional yang menunjang kerja-kerja kebijakan dan mana yang merupakan pelaksanaan kebijakan murni. Ada baiknya, untuk segera melakukan revisi atas MoU yang ada agar yang benar-benar dilakukan persetujuan bersama hanyalah rencana kerja dan anggaran tahunan yang bersifat operasional murni. Sehingga yang bersifat operasional tapi dalam rangka menjalankan kewenangan dan yang merupakan kewenangan murni tidaklah dilakukan persetujuan.
Sekali lagi Uceng menegaskan, karena persetujuan pada hal itu sangat berpotensi untuk merusak independensi LPS itu sendiri karena menciptakan intervensi pemerintah atas lembaga negara independen. Juga penting untuk dipertimbangkan, pengawasan yang lebih bersifat makro operasional dibanding yang benar-benar teknis operasional. Sekali lagi, hal itu dapat dituangkan dalam bentuk MoU yang diatur bersama.
“Serta hal itulah yang akan menjelaskan bahwa persoalan dasar dari permohonan ini sesungguhnya bukanlah pada konstitusionalitas norma murni, tetapi berkisar pada administrasial pelaksanaaan,” kata Zainal.
Baca juga:
Dosen dan Mahasiswa Persoalkan Intervensi Politik Kepada LPS
Sidang Pengujian UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan Ditunda
Pemerintah Jamin Independensi LPS Meski Ada Persetujuan Menkeu
BI dan OJK Belum Siap, Sidang Uji UU P2SK Ditunda
Bank Indonesia Jelaskan Perbedaan PLJP dengan Penempatan Dana LPS
Ahli Pemohon: Ketentuan Persetujuan Menkeu atas RKAT LPS Bentuk Campur Tangan
Ahli Presiden: Persetujuan Menkeu atas RKAT LPS Bukan Intervensi
Sebagai informasi, dua orang dosen dan satu mahasiswa mengajukan uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua dosen dimaksud yaitu Giri Ahmad Taufik (Pemohon I) sebagai pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Djuanda, Bogor dan Wicaksana Dramanda (Pemohon II) sebagai pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Bandung. Selain itu, mahasiswa yang menjadi Pemohon perkara ini bernama Mario Angkawidjaja (Pemohon III) yang juga menjadi nasabah Bank Perkreditan Rakyat Nusantara Bona Pasogit (NBP) 31 Jatinangor.
Para Pemohon mengaku memiliki potensi kerugian konstitusional akibat berlakunya Pasal 7 angka 57, Pasal 7 angka 6, Pasal 276 angka 13 UU P2SK. Dengan berlakunya ketentuan Pasal 7 angka 6 yang memberikan wewenang bagi LPS untuk dapat melakukan penempatan dana pada bank dalam penyehatan berdasarkan permintaan dari OJK berpotensi menimbulkan tumpang tindih (overlap) kewenangan dengan BI sebagai lender of last resort.
Apalagi kewenangan LPS dalam penempatan dana pada bank dalam penyehatan memiliki syarat yang berbeda yang lebih mudah, dalam hal ini tidak memenuhi Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek berdasarkan prinsip Syariah yang dipunyai BI. Akibat ketidakjelasan dan tumpang tindih ini, maka timbul potensi membebani LPS, dalam hal ini menurunkan kemampuan LPS dan mengarah pada gagalnya LPS untuk menjalankan fungsi utamanya, yaitu menjamin simpanan nasabah yang merupakan bentuk perlindungan terhadap simpanan para Pemohon.
Selain itu, menurut para Pemohon intervensi pemerintah dalam bentuk persetujuan Menteri Keuangan atas rencana kerja dan anggaran tahunan LPS dalam pasal a quo menimbulkan keraguan yang sah pada sisi nasabah mengenai kepastian hukum bahwa LPS akan melaksanakan kewenangannya secara profesional dan berdasarkan expertise semata, tanpa campur tangan politik. Meskipun independensi memiliki batas akuntabilitas, tetapi kewenangan persetujuan Menteri Keuangan pada ketentuan a quo tidak memiliki dasar kebutuhan (necessary) dan keseimbangan (balancing).
Dari sisi kebutuhan dan keseimbangan, ketentuan yang sangat intervensionis pada perencanaan kerja dan keuangan untuk kegiatan operasional LPS tidak memiliki alasan yang kuat, menimbang desain kelembagaan LPS yang dipimpin secara kolektif kolegial oleh seluruh anggota Dewan Komisioner, di mana seluruh keputusan LPS harus 33/48 diambil melalui proses musyawarah untuk mufakat (vide Pasal 7 angka 46 UU P2SK yang mengubah Pasal 72 ayat (1) UU No. 24/2004).
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 angka 57 UU P2SK yang mengubah Pasal 86 ayat (4) sepanjang frasa “untuk mendapat persetujuan”, Pasal 86 ayat (6), dan Pasal 86 ayat (7) huruf a sepanjang frasa “yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan” pada UU 24/2004 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, para Pemohon juga memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 7 angka 6 dan Pasal 276 angka 13 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: Nur R.
Humas: Fauzan F.