JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) pada Jumat (13/12/2024). Agenda sidang kedelapan untuk Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Rega Felix ini yakni mendengar keterangan beberapa ormas keagamaan yaitu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).
PBNU diwakili Ulil Abshar Abdalla. PGI diwakili Johny Nelson Simanjuntak dan Cristiana Chelsia. KWI diwakili Marthen LP Jenarut. Kemudian PHDI diwakili Ida Djaka Mulyana dan Yanto Jaya.
NU: Pemerataan Pengelolaan SDA
Ulil Abshar Abdalla mewakili PBNU dalam persidangan mengatakan bahwa NU bukan saja ormas yang bergerak dalam bidang keagamaan dan pendidikan, tetapi juga memiliki unit-unit profesional dalam berbagai bidang, seperti perguruan tinggi, badan-badan usaha, dan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk membiayai kegiatan-kegiatan NU secara profesional. Sehingga NU telah siap mengerjakan atau mengeksekusi kebijakan yang diberikan oleh pemerintah. Oleh karenanya, sambung Ulil, kebijakan pemerintah dalam pertambangan ini sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mencapai aspek keadilan di dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara.
“Selama ini, pihak yang menikmati konsesi pertambangan dan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara umumnya korporasi. Korporasi menjadi pondasi penting dalam ekonomi negara. Tetapi, konsesi tambang untuk ormas keagamaan adalah sebuah terobosan untuk melakukan pemerataan pengelolaan sumber daya alam secara lebih adil. Sudah saatnya penerima manfaat dari pengelolaan tambang diperluas cakupannya, sehingga ormas keagamaan yang telah memberikan kontribusi bagi negara dalam bidang pendidikan menjadi tepat sekali diberikan kesempatan pengelolaan ini,” jelas Ulil.
PGI: Prihatin dengan Krisis Ekologis
Johny Nelson Simanjuntak mewakili PGI menyebutkan banyak warga gereja yang berdiam di kawasan deposit mineral tambang, baik yang sedang dikelola dan akan dikelola. Mereka merintih karena ulah perusahaan tambang, misalnya warga Gereja HKBP di Parongil, Sumatera Utara; warga Gereja Protestan di Kabupaten Palopo, Sulawesi Barat; dan lainnya. Permasalahan ini telah berulang disampaikan PGI kepada negara, tetapi belum mendapat perhatian yang layak sebagaimana yang diharapkan agar negara mengusahakan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. PGI bersama-sama dengan semua umat memutuskan arah pelayanan gereja di Indonesia, salah satunya melalui Tugas Pokok Panggilan Bersama.
“Kami memiliki panggilan sosial ekologis, bahwa PGI merasa prihatin dengan krisis ekologis akibat dari kerakusan umat manusia termasuk perusahaan tambang dan kekeliruan dari kebijakan negara yang tidak ada pengawasan yang ketat bagi perusahaan tambang. Selain itu, gereja prihatin mendapatkan dampak negatif dari perusahaan tambang yang mengelola tambang secara tidak terkoordinasi dan tidak terawasi serta tidak terkendali,” sampai Johny.
KWI: Fokus pada Karya Pelayanan dan Kemanusiaan
Marthen LP. Jenarut mewakili KWI menerangkan sebagai lembaga keagaamaan, KWI tidak menerima (menolak) tawaran pemberian WIUPK karena fokus pada karya pelayanan, peribadatan, dan kemanusiaan sebagai misi utama. Dalam konteks perspektif moralitas, Gereja Katolik tidak menolak investasi di dunia pertambangan sejauh kegiatan tersebut mendukung prinsip keadilan, ekologi berkelanjutan, dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, KWI menyadari keterbatasan dan ketidakmampuan untuk mengambil bagian dalam urusan eksplorasi pertambangan.
“Baik dalam aspek SDA, kompetensi, maupun dalam tata kelolanya. KWI memilih melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang dapat mendukung pelayanan, peribadatan, serta karya kemanusiaan,” terang Marthen.
PHDI: Terobosan yang Patut Diapresiasi
Ida Djaka Mulyana dari PHDI menyebutkan pihaknya memahami dan mengapresiasi serta menghormati kebijakan pemerintah terkait pemberian kesempatan pengelolaan tambang di Indonesia. Sebab ormas keagamaan menjadi salah satu mitra penting negara dalam pembangunan bangsa. Ide dan gagasan pemerintah ini, menurut Djaka menjadi bagian apresiasi yang sering disampaikan PHDI sebagai majelis agama Hindu saat bertemu dengan kementerian lembaga terkait.
Lebih jelas Djaka menerangkan bahwa sehubungan dengan kendala pendanaan PHDI melalui Ditjen Bimas Hindu sebesar Rp500 juta per tahun untuk melakukan pembiayaan dan pembinaan umat Hindu se-Indonesia, sehingga ide kemandirian keagamaan dengan mengelola tambang menjadi satu terobosan yang sangat diapresiasi oleh organisasi. Sebab hal dapat mencegah upaya intervensi lembaga keagamaan oleh pihak tertentu, apabila lembaga keagamaan itu sendiri mandiri secara finansial.
Terlepas dari isu lingkungan yang perlu perhatian serius dalam bisnis tambang, diakui Djaka bahwa pada faktanya sektor tambang memberikan kontribusi pada APBN dan penyerapan tenaga kerja. Akan tetapi berdasarkan pada landasan pengelolaan lingkungan dalam Ajaran Tri Hita Karana, termasuk atas dampak lingkungan pengelolaan tambang, maka PHDI tidak dapat secara langsung mengelola WIUPK.
“Terutama terkait dengan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang diproduksi secara massal untuk kepentingan kesejahteraan rakyat yang dikelola secara tidak terkendali. Dengan demikian, untuk saat ini PHDI tidak memiliki kompetensi dan belum mampu mengemban tanggung jawab yang timbul dari dampak pengelolaan tambang tersebut. Sehingga PHDI memutuskan belum mengambil peluang, yang diberikan pemerintah dan memberikannya kepada ormas Rajaniti Hindu Indonesia,” jelas Djaka.
Baca juga:
Prioritas Pengelolaan Tambang ke Ormas Dipertanyakan
Advokat Perjelas Makna “Prioritas” dalam Uji Pengelolaan Tambang oleh Ormas
DPR dan Pemerintah Minta Penjadwalan Ulang Sidang Uji UU Minerba
Pemerintah: Penawaran WUIPK Secara Prioritas Memperluas Kapasitas Pengelolaan Minerba
Ahli Pemerintah Jelaskan Kapasitas Ormas Keagamaan Kelola Tambang
DPR: Pemberian Prioritas Penawaran WIUPK Tetap dengan Syarat Tertentu
Pengelolaan Pertambangan Sesuai Nilai Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
Sebelumnya, seorang advokat sekaligus dosen, Rega Felix, mengajukan pengujian materiil Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang perdana Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 yang dilaksanakan di MK pada Rabu (24/7/2024), Rega mengatakan bahwa kebijakan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada ormas keagamaan tidak memenuhi parameter untuk dapat diterapkan sebagai kebijakan afirmatif berdasarkan UUD 1945.
Menurutnya, Pemerintah masih dapat melaksanakan penawaran secara prioritas sepanjang tidak menggunakan pertimbangan berdasaran suku, agama, ras, dan antargolongan. Jika prioritas tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan tersebut, maka telah jelas bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Karena makna “prioritas” dalam norma pasal yang diuji tidak jelas batasannya dan dapat menciptakan self-reference norm kepada presiden.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas” dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf j sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 4 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”. Kemudian meminta klausul “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat” dalam Pasal 35 Ayat (1) sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 26 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.