JAKARTA, HUMAS MKRI – Prinsip pemisahan kewenangan pengelolaan ASN pada aspek perumusan kebijakan oleh Kemenpan RB; manajemen ASN oleh BKN; serta litbang dan diklat profesi oleh LAN; serta pembinaan pengawasan meritokrasi dan netralitas oleh KASN perlu dipertahankan sesuai fungsi masing-masing lembaga. Hal ini dilakukan guna menghindari duplikasi tugas dan benturan kepentingan pada instansi pemerintah yang bersifat non-independen.
Demikian keterangan Ketua KASN periode 2014 – 2019 sekaligus Guru Besar Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi yang dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Perkara Nomor 121/PUU-XXII/2024. Perkara ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Pemohon I), Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (Pemohon II), dan Indonesia Corruption Watch (Pemohon III). Sidang lanjutan uji materiil Pasal 26 ayat (2) huruf d dan Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) beragendakan mendengarkan keterangan dari Pemberi Keterangan yang dihadirkan MK, yaitu Sofian Effendi dan Ahli yang dihadirkan para Pemohon, yakni Riris Katharina selaku Penleliti Ahli Utana Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Lebih jelas Sofian menyebutkan, terkait dengan revisi UU ASN, agar tepat sasaran dan efektif menghasilkan pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan sistem manajemen SDM, maka terdapat tiga kebijakan penguatan KASN yang dapat diusulkan agar mencegah politisasi lembaga, yaitu mengusulkan terbentuknya badan otoritas ASN independen melalui penggabungan BKN dan KASN. KASN berfungsi sebagai policy planning board untuk pengelolaan pegawai pensiun, sementara BKN menjalankan tugas teknis operasional manajemen SDM ASN. Berikutnya, menjadikan KASN sebagai suatu merit protection board dengan perumusan kembali tugas pokok dan fungsi KASN yang tercantum dalam Pasal 27 s.d. Pasal 42 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
“Guna memitigasi dan mengatasi berbagai ancaman mikro dan makro yang akan dihadapi 5,2 juta pegawai ASN di Indonesia, maka mempertahankan kelembagaan manajemen SDM ASN sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 5 Tahun 2021 menjadi opsi yang dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi KemenPANRB, BKN, LAN, dan KASN. Sehingga keempat lembaga tersebut dapat bekerja lebih sinergis dan menghindari atau menghilangkan tumpang tindih tugas dan fungsi yang masih terjadi saat ini. Maka penerapan UU Nomor 20 Tahun 2023 guna menggantikan UU Nomor 5 Tahun 2014 selama tujuh tahun pelaksanaannya, telah terbukti mampu mewujudkan ASN kelas dunia yang mampu mendukung pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945,” jelas Sofian.
Penghubung Antara Politik dengan Birokrasi
Sementara itu, Riris Katharina selaku Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional dalam keterangannya menyebutkan untuk mencapai terciptanya ASN yang profesional, UU ASN menginisiasikan lembaga baru bernama Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Melalui KASN ini, diharapkan dapat tercipta pegawai ASN yang profesional dan berkinerja, sehingga, ASN diharapkan tidak diintervensi oleh pejabat politik. Terkait dengan perkembangan keberadaan UU ASN, Riris melihat perjalanan reformasi birokrasi Indonesia telah memperlihatkan upaya ke arah perbaikan. Salah satunya, melalui sistem rekrutmen PNS yang sudah diselenggarakan secara komputerisasi melalui penerapan sistem Computer Assisted Test (CAT). Sistem rekrutmen semacam ini dinilai mampu menekan penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum tertentu untuk memperjualbelikan posisi PNS, sehingga interaksi dengan manusia dihilangkan. Dengan denikian, melalui sistem ini aspek kecepatan, akuntabilitas, dan transparansi sangat dikedepankan.
Riris mengungkapkan, usul kebijakan untuk membubarkan KASN saat RUU Perubahan UU ASN pada 2017, namun baru berjalan tiga tahun kemudian KASN diusulkan untuk dihapuskan. Pasalnya ini dilakukan untuk pengangkatan tenaga honorer sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) dengan alasan ketiadaan anggaran, sehingga ditransaksikan dengan penghapusan KASN. Anggaran lembaga ini diharapkan dapat dipakai untuk membiayai pengangkatan tenaga honorer tersebut. Bahwa Koalisi Reformasi Birokrasi berpandangan dalam waktu 2 – 4 tahun tidak dapat dijadikan waktu yang memadai untuk mengevaluasi kinerja KASN. Pada masa itu, pemerintah juga tidak menyetujui dengan tidak kunjung menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke DPR terhadap RUU tersebut hingga berakhirnya periode 2014 – 2019.
“Presiden dan DPR RI seharusnya melanjutkan langkah reformasi birokrasi dengan menghilangkan peran politik dalam birokrasi Indonesia melalui penghapusan peran PPK oleh politisi dan menyerahkannya kepada pejabat karier birokrasi dan bukan dengan membubarkan KASN. Kebutuhan akan adanya kepastian birokrasi akan menjalankan kebijakan politisi dapat diserahkan kepada KASN, yang akan menjadi jembatan penghubung antara politik dan birokrasi Indonesia. Keberadaan KASN sebagai lembaga independen akan dapat memastikan seluruhnya berjalan dengan baik. KASN seharusnya diberi tambahan kekuatan SDM dengan menempatkan BKN sebagai sekretariat KASN untuk mendukung pelaksanaan tugas KASN terkait pemberian informasi pegawai ASN. Pengawasan KASN juga tidak hanya khusus untuk JPT namun dalam setiap jabatan yang ada, bukan dengan membubarkannya,” terang Riris.
Baca juga:
Menyoal Hilangnya Pengawasan Sistem Merit KASN dalam UU ASN
Para Pemohon Perkuat Dalil Konstitusional Hilangnya Pengawasan Sistem Merit KASN
DPR: KASN Dihapus Bagian dari Penataan Struktur Manajemen ASN
Pemerintah Bentuk Satgas Penanganan Pelanggaran Netralitas ASN Sebagai Pengganti KASN
Pada Sidang Pendahuluan, Kamis (19/9/2024) lalu para Pemohon menyatakan Pasal 26 ayat (2) huruf d UU ASN bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Bahwa Pemohon I menilai dengan dihilangkannya pengawasan sistem merit, asas, dan kode etik serta kode perilaku ASN telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab hal demikian telah pula menghilangkan pengawasan independen atas netralitas penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2024.
Pemohon I, sambung Shaleh, melihat urgensi ini karena berdampak pada lemahnya sistem birokrasi yang profesional, berintegritas, dan memegang prinsip meritokrasi demi terwujudnya pemerintahan yang baik, profesional, terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh sebab itu, Pemohon I yang merupakan organisasi yang memiliki kepedulian terhadap demokrasi dan reformasi birokrasi dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pemilu di Indonesia, termasuk untuk menghasilkan pemilihan umum yang bersih dan adil, jelas memiliki kepentingan langsung dengan keberadaan pasal-pasal yang Pemohon I dimohonkan untuk diuji ini.
Sementara bagi Pemohon II yang keberadaannya bertujuan memberikan kontribusi optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah, kalangan dunia usaha, pemerintah pusat, dan masyarakat luas yang membutuhkan berpendapat asal-pasal a quo berpotensi berdampak pada terganggunya penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah yang bebas dan adil. Sebab dengan tidak terdapat sistem pengawasan yang independen, ASN dapat dengan mudah dimobilisasi untuk kepentingan partisan pemilihan umum. Oleh sebab itu, tindakan pelanggaran atas hal-hal demikian haruslah segera dicegah, ditanggulangi, dan ditindak dengan bijak.
Sedangkan bagi Pemohon III berpandangan dengan dihilangkannya pengawasan sistem merit, asas serta kode etik dan kode perilaku ASN dan dihilangkannya pengawasan independen atas netralitas ASN, akan berdampak pada dilanggengkannya praktik mobilisasi partisan ASN. Tujuannya tak lain untuk kepentingan politis yang berujung pada rekrutmen dan promosi ataupun demosi yang politically-motivated. Sehingga hal tersebut jauh dari prinsip meritokrasi dan good governance, yang berkaitan langsung dengan tujuan dibentuknya organisasi Pemohon III dan kerja-kerja pokok organisasi dari Pemohon III.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha