JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024 menghadirkan Hendri Jayadi Pandiangan sebagai Ahli untuk memberikan keterangan dalam sidang pengujian materi Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (UU KUHD) pada Kamis (12/12/2024). Hendri mengatakan pembatalan polis tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh penanggung sepanjang tidak terdapat kesepakatan antara penanggung dan tertanggung atau pembatalan tersebut atas putusan pengadilan dan yang wajib mengajukan gugatan pembatalan adalah penanggung.
“Jika norma Pasal 251 KUHD khususnya perihal pemaknaan batal yang terdapat di dalamnya tetap dipertahankan sebagaimana praktik yang terjadi selama ini, maka akan menciptakan ketidakseimbangan perlindungan hukum antara penanggung dengan tertanggung. Penanggung memiliki posisi dominan dibanding tertanggung, kepada penanggung diberikan hak untuk membatalkan polis kapan saja, menurut Ahli hal ini merupakan bentuk ketidakadilan,” ujar Hendri di hadapan para hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengejawantahan dari prinsip itikad baik (utmost goodfaith) yang diatur dalam Pasal 251 KUHD menurut Hendri berada pada rentang waktu 'sebelum polis dibuat’ atau pada saat pengisian formulir pengajuan Surat Permohonan Asuransi (SPA). Tertanggung diwajibkan untuk menyampaikan pemberitahuan dengan benar dan tidak keliru, serta tidak menyembunyikan keadaan apapun perihal kondisi dan keadaan objek pertanggungan. Apabila terdapat kekeliruan atau penyembunyian keadaan maka menurut Pasal 251 KUHD pertanggungan menjadi batal.
Tidak terpenuhinya prinsip itikad baik mengakibatkan pertanggungan batal. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 251 KUHD yang menjadi objek pengujian pada permohonan ini. Pasal a quo menyatakan "Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal".
Dia menjelaskan itikad baik sebelum polis dibuat diperlukan pada saat pengisian formulir pengajuan SPA oleh calon tertanggung. Pengejawantahan prinsip utmost good faith pada rentang waktu ini dari pihak tertanggung adalah diterapkannya kejujuran tertinggi saat pengisian formulir pengajuan SPA. Artinya calon tertanggung diwajibkan mengisi formulir pengajuan SPA dengan benar dan mengungkapkan seluruh kondisi dan keadaan objek pertanggungan secara jujur tanpa adanya suatu penyembunyian keadaan apapun. Begitu pula sebaliknya, penanggung wajib menyampaikan seluruh informasi terkait dengan produk asuransi yang akan dibeli oleh tertanggung.
Itikad baik pada saat pembuatan polis sesungguhnya diperlukan pada saat penyusunan klausul-klausul yang diatur dalam polis atau perjanjian. Namun pada saat ini pasal-pasal dan ketentuan yang diatur dalam polis dibuat dan disusun secara sepihak oleh penanggung (perjanjian baku) sehingga pada tahap ini beban itikad baik seluruhnya menjadi tanggung jawab penanggung, penanggung diharapkan menyusun ketentuan yang diatur dalam polis dengan adil dan posisi penanggung dengan tertanggung berimbang secara hukum (equal) serta tidak terdapat klausul-klausu yang dapat merugikan kepentingan hukum tertanggung. Sedangkan itikad baik setelah polis dinyatakan aktif bermuara pada kewajiban para pihak dalam hal ini tertanggung dan penanggung untuk melaksanakan kewajiban yakni prestasi dan kontraprestasi yang diatur dalam polis, mengungkapkan penyebab utama terjadinya risiko (proximate cause), serta tidak mencari celah hukum untuk menghindari tanggung jawab.
Sebelumnya, MK juga telah mendengarkan keterangan Pihak Terkait yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), dan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) pada Senin (2/12/2024) lalu. Para Pihak Terkait memohon kepada Mahkamah agar kedudukan hukum Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima sekaligus menolak permohonan a quo untuk seluruhnya. Dengan demikian, mereka meminta Mahkamah menyatakan Pasal 251 KUHD tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Sedangkan Pemohon dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 251 KUHD sepanjang frasa “pertanggungan itu batal” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan tersebut didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung” atau “pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan itu dilakukan oleh penanggung dalam rentang waktu paling lama 6 (enam) bulan karena ditemukannya ketidaksesuaian data tertanggung antara data yang tertera dalam formulir pertanggungan dengan data yang sebenarnya” atau “Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tdak diadakan dengan syarat-syarat yang sama.
Menurut Pemohon, ketentuan norma dalam pasal tersebut membuka ruang yang begitu besar bagi perusahaan asuransi memanfaatkan peraturan undang-undang guna kepentingan pribadi perusahaan. Pasal 251 KUHD membuka ruang bagi perusahaan asuransi memanfaatkannya sebagai senjata sakti melakukan berbagai tricky yang bertujuan untuk menghindar dari tanggung jawab pembayaran klaim. Selain itu Pasal a quo sama sekali tidak memberi ruang bagi tertanggung/pemegang polis atau ahli warisnya untuk membuktikan jika kesalahan atau kelalaian tidak berada pada dirinya dan membuktikan bahwa tertanggung telah melakukan itikat terbaik (utmost good faith). Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Baca juga:
Ahli Waris Asuransi Uji Materi KUHD
Ahli Waris Penerima Manfaat Asuransi Perbaiki Uji KUHD
DPR Tidak Hadir dan Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji KUHD Ditunda
Pemerintah Belum Siap Bacakan Keterangan dalam Sidang Uji UU Hukum Dagang
Pemerintah: Asas Iktikad Baik Jadi Prioritas Utama Perjanjian Asuransi
OJK: Perjanjian Asuransi Perlu Itikad Baik Para Pihak
Sopan Santun Duha merupakan tertanggung/pemegang polis atas nama almarhum Latima Laia yang terdaftar sebagai tertanggung/pemegang polis asuransi jiwa dari PT Prudential Life Assurance. Hingga permohonan ini dibuat, Prudential masih memiliki kewajiban untuk membayar sisa nilai manfaat yang semestinya diterima penerima manfaat atas nama Sopan Santun Duha sebesar Rp 510,5 juta. Namun, Sopan Santun Duha telah meninggal dunia pada 7 Januari 2024 sehingga nilai manfaat belum dibayarkan Prudential. Menurut Pemohon, secara hukum jatuh kepadanya atau menjadi hak Pemohon yang merupakan ahli waris sah dari penerima manfaat.
Baca juga:
Nilai Klaim Asuransi Tak Sesuai, Pemohon Uji KUHD
Ketika Pemohon Perkara di MK Meninggal Dunia
Sopan Santun Meninggal, Uji KUHD Gugur
Sopan Santun Duha pernah mengajukan permohonan serupa yang teregistrasi dengan Perkara Nomor 2/PUU-XXII/2024. Namun, pada sidang perbaikan permohonan pada 5 Februari 2024 lalu, Sopan Santun Duha diketahui meninggal dunia pada 7 Januari 2024. Kemudian, Mahkamah menyatakan permohonan tersebut gugur pada sidang pengucapan putusan/ketetapan pada 13 Februari 2024. Sebab, Pemohon perkara meninggal dunia sehingga permohonan tersebut kehilangan subjek hukum dan permohonan tidak dapat dilanjutkan.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan sidang pada hari ini merupakan sidang terakhir untuk Perkara Nomor 83/PUU-XXII/2024. Para Pihak dapat mengajukan kesimpulan sampai Jumat, 20 Desember 2024 termasuk diperbolehkan melampirkan keterangan Ahli.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N Rosi.
Humas: Fauzan F.