JAKARTA, HUMAS MKRI – Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi D.P. Nababan selaku Pemohon Perkara Nomor 161/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonannya mengenai pengujian materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto UU 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999. Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan ulang pasal-pasal tersebut.
“Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 UU Tipikor ini memang perlu diubah sebagaimana sebelumnya disampaikan bahwa Pasal 2, Pasal 3 adalah pasal sapu jagat,” ujar kuasa hukum Pemohon, Pahrur Dalimunthe dalam sidang perbaikan permohonan yang diikutinya secara daring pada Rabu (11/12/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan frasa "secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dengan maksud merugikan keuangan negara dan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum". Selain itu Pemohon memohon agar Mahkamah juga menyatakan frasa "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dengan maksud merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan".
Selengkapnya bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Baca juga:
Mantan Direktur PT Merpati Airlines Uji Pasal Sapu Jagat UU Tipikor
Hotasi Nababan merupakan terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi yang setelah menjalani proses persidangan kemudian divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 2013. Namun, berdasarkan Putusan Tingkat Kasasi pada 2014/2015, Hotasi dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sesuai dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga Pemohon dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp 200 juta.
Menurut Pemohon yang kala itu menjabat Direktur PT Merpati Nusantara Airlines telah terbukti dirinya dalam fakta persidangan beritikad baik menjalankan perusahaan milik negara tersebut dan tidak ada mens rea atau niat jahat dalam dirinya untuk merugikan keuangan negara. Menurut dia, penerapan hukum pasal-pasal tersebut menimbulkan permasalahan karena faktanya telah terjadi pergeseran praktik dengan menjerat setiap orang yang dalam kasusnya ada kerugian negara menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Padahal, kata Hotasi, kerugian keuangan atau perekonomian negara yang timbul bukan dari perbuatannya.
Dia mengatakan proses pembuktian perkaranya hanya ditarik dari fakta-fakta yang terpisah dan tidak saling bersesuaian dirajut sedemikian rupa untuk menunjukkan terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor meskipun bentuk kesalahan pelaku dimaknai dengan cara yang sangat luas. Pemohon menuturkan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor harus menuangkan secara eksplisit rumusan delik untuk kesengajaan (opzet) yang dalam hal ini bentuk kesengajaannya adalah kesengajaan sebagai maksud sehingga bahasa perumusan dalam suatu undang-undang harus berbunyi "setiap orang dengan maksud dst…".
Sebagaimana Pasal 28 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi di Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), pengetahuan, maksud atau kehendak yang menjadi elemen dari kejahatan itu harus ditarik dari keadaan-keadaan faktual yang objektif. Tidak boleh menyimpulkan suatu kejahatan secara asal dan hanya berdasarkan pada asumsi-asumsi, melainkan harus benar-benar dibangun dari fakta yang objektif yang membuktikan atau menunjukkan terjalinnya peristiwa-peristiwa yang relevan yang saling bersesuaian, sehingga dapat disimpulkan pelaku memang menghendaki terjadinya akibat delik.
Akibat rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tersebut tidak memuat rumusan dengan maksud merugikan keuangan atau perekonomian negara, Pemohon dipidana meskipun tidak dapat dibuktikan jika Pemohon dengan sengaja/dengan niat jahat/mens rea merugikan keuangan atau perekonomian negara dan mendapatkan keuntungan. Padahal kerja sama tersebut dilakukan Pemohon adalah murni sebagai keputusan bisnis untuk menyelamatkan keuangan PT MNA, yang sudah diambil dengan itikad baik sesuai prosedur dan prinsip Business Judgement Rules (BJR), tanpa benturan konflik/kepentingan maupun kick-back untuk Pemohon.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.