JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang Pemeriksaan terhadap dua permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (11/12/2024). Dua permohonan dimaksud yaitu, pertama, permohonan Perkara Nomor 160/PUU-XXII/2024 diajukan oleh seorang advokat bernama Boyamin Bin Saiman yang mengujikan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK. Kedua, permohonan Perkara Nomor 163/PUU-XXII/2024 diajukan Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), yang diketahui dan didirikan oleh Boyamin Bin Saiman, juga mengujikan Pasal 30 ayat (1) UU KPK.
Boyamin dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan mengatakan telah memasukkan juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik di perihal maupun pokok permohonan. “Karena memang Dewan Pengawas itu diatur di UU Nomor 19 Tahun 2019 yang mutatis mutandis baru masuk ke pasal yang diuji,” ujarnya.
Boyamin juga mempertegas kedudukan hukum (legal standing). Kemudian, menyempurnakan alasan permohonan. “Kami masukkan pada poin sembilan, alasan permohonan,” jelas Bonyamin.
Baca juga:
Legitimasi Seleksi Pimpinan KPK Dipertanyakan
Sebelumnya, dalam sidang perdana yang digelar di MK Kamis (28/11/2024) Boyamin mengatakan norma Pasal 30 ayat (1) UU KPK mengatur pemilihan pimpinan KPK oleh DPR berdasarkan calon anggota usulan Presiden. “Saya telah menyampaikan kepada Presiden dan DPR untuk mendaftar calon anggota Dewan Pengawas KPK yang mana panselnya semestiya dibentuk oleh Presiden 2024. Karena tidak dibentuk Presiden 2024 maka kerugian saya tidak bisa mendaftar kepada panitia seleksi yang sah. Itulah legal standing dan kerugiannya, Yang Mulia. Saya tidak mau mendaftar panitia seleksi yang dibentuk Pak Jokowi, karena menurut saya tidak sah,” ujarnya.
Menurutnya, MK telah memutuskan masa jabatan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK adalah selama 5 tahun (sebelumnya 4 tahun) dengan berbagai pertimbangan yang salah satunya untuk independensi KPK maka pemilihannya hanya dilakukan sekali oleh Presiden dan DPR. Presiden Joko Widodo telah membentuk Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK dan Dewas KPK pada 2019. Padahal pembentukan Pansel Calon Pimpinan KPK dan Dewas KPK periode 2024-2029 semestinya dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Boyamin menegaskan, setelah adanya Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 maka pembentukan Pansel Calon Pimpinan KPK dan Calon Dewas KPK periode 2024-2029 haruslah oleh Presiden periode 2024-2029 (Prabowo Subianto) yang sekaligus Presiden Prabowo Subianto yang menyerahkan hasil pansel kepada DPR-RI periode 2024-2029 untuk dibahas dan disetujui sebanyak 5 orang untuk kemudian dilantik menjadi Pimpinan KPK dan Dewas KPK periode 2024-2029.
Oleh karena itu, Boyamin dalam petitumnya meminta MK menyatakan kata “Presiden” pada Pasal 30 Ayat (1) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Presiden yang masa jabatannya sama dengan calon Pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK”. Boyamin juga meminta MK menyatakan kata “Pemerintah” pada Pasal 30 Ayat (2) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “Pemerintah yang masa jabatannya sama dengan calon Pimpinan KPK dan calon Dewan Pengawas KPK”.
Penulis: Utami Argawati
Editor: N Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.