JAKARTA, HUMAS MKRI – Akademisi dari Institut Informatika dan Bisnis (IIB) Darmajaya Indra Budi Sumantoro menjadi Ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024 dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) pada Rabu (11/12/2024). Dia mengatakan terdapat potensi dampak negatif dari implementasi ketentuan bersifat wajib iuran tapera disertai dengan pengenaan sanksi antara lain menurunnya gairah investasi dan meningkatnya jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Pekerja yang ter-PHK dan/atau Pemberi Kerja yang dibekukan atau dicabut izin usahanya berpotensi jatuh miskin, namun masih dipaksa membayar seluruh simpanan yang diwajibkan beserta denda administratifnya,” ujar Indra di hadapan para hakim konstitusi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta Pusat.
Dia menjelaskan dalam praktiknya UU Tapera mewajibkan seluruh pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi peserta. Pemberi kerja pun diwajibkan mendaftarkan pekerjanya pada program Tapera. Pemberi kerja yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut diberikan sanksi.
Indra juga mengatakan manfaat Tapera yang diambil pada saat mencapai usia pensiun bersifat duplikasi dengan Jaminan Hari Tua (JHT) baik yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan maupun PT Asabri dan Tabungan Hari Tua yang diselenggarakan PT Taspen. Pemaksaan kepesertaan yang bersifat wajib dan memaknsa ini memiliki konsekuensi terhadap pembiayaan belanja pegawai yang makin tinggi, tetapi tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas.
Dampaknya justru berpotensi negatif diihat dari persentase simpanan yang dipotong dari gaji pekerja sebesar 2,5 persen dibandingkan dengan pemberi kerja yang hanya 0,5 persen. Kemudian sanksi kepada pemberi kerja jika tidak mendaftarkan dan membayar simpanan berupa denda administratif, publikasi ketidakpatuhan, pengenaan bunga simpanan akibat keterlambatan, pembekuan izin usaha, sampai pencabutan izin usaha.
“Hal ini tentunya tidak sejalan dengan langkah pemerintah yang justru ingin meningkatkan gairah investasi guna menyerap kembali tenaga kerja yang banyak di-PHK belakangan ini akibat perlambatan ekonomi global,” tutur Indra.
Di samping itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan yang juga menjadi Ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024 untuk persoalan yang sama mengatakan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) menyatakan secara tegas bahwa masyarakat berhak mempunyai tempat tinggal. Namun berhak bertempat tinggal ini tidak boleh diartikan sebagai kewajiban seseorang, dalam hal ini pekerja menabung untuk memiliki tempat tinggal.
“Tidak ada satu pun di dalam UUD yang bisa dijadikan dasar hukum bagi Pemerintah untuk memaksa (mewajibkan) pekerja untuk menabung. Sehingga UU Tapera khususnya Pasal 7 ayat 1, Pasal 9 ayat 1, dan Pasal 18 ayat 1 yang mengatur kewajiban menabung bagi pekerja untuk pembiayaan perumahan rakyat terbukti cacat hukum dan melanggar hak asasi manusia seperti diatur dalam UUD,” jelas Anthony.
Selain itu, Ahli Ekonomi tersebut mengatakan UU Tapera juga bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi di mana manusia sebagai agen ekonomi mempunyai kebebasan penuh dalam menentukan pilihannya, baik atas dasar rasional maupun irrasional untuk memaksimalkan kepentingan dan kesejahteraannya. Sehingga pemaksaan menabung atau kewajiban menabung bagi para pekerja pada prinsipnya membatasi dan melanggar kebebasan manusia dalam menentukan pilihannya tersebut. Pekerja tidak bisa lagi memilih antara konsumsi sekarang atau nanti dengan mengorbankan tidak bisa konsumsi saat ini.
“Karena itu, UU Tapera bertentangan dengan teori preferensi likuiditas maupun teori prefensi waktu serta teori utilitas, selain juga melanggar hak asasi seseorang karena menghilangkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan yang sesuai dengan kepentingan untuk memaksimalkan tingkat kepuasan (utilitas) orang tersebut,” kata Anthony.
Baca juga:
Kewajiban dan Tolok Ukur Peserta Tapera Dipertanyakan
Sejumlah Serikat Pekerja Persoalkan Kewajiban Pekerja Jadi Peserta Tapera
Pemohon Melampirkan Hasil Survei Penolakan Kepesertaan Tapera
Pemohon Sebut Kegagalan Cina Gunakan Konsep Tapera
Pemerintah dan DPR Belum Bisa Beri Keterangan, Sidang Uji UU Tapera Ditunda
Sidang Uji UU Tapera Kembali Ditunda
Pemerintah: Kewajiban Jadi Peserta Tapera Sejalan dengan Asas Gotong Royong
BP Tapera: Skema Tapera Bukan Beban Finansial
Sebagai informasi, Mahkamah menggelar sidang dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemohon untuk tiga perkara secara sekaligus, yakni Perkara Nomor 86, 96, 134/PUU-XXII/2024. Pada sidang sebelumnya Selasa (26/11/2024), Presiden/Pemerintah telah memberikan keterangannya dalam sidang pengujian UU Tapera ini melalui Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum Kementerian Hukum Andry Indrady. Andry mengatakan dengan diaturnya kepesertaan yang bersifat wajib dan dengan dilaksanakan sesuai dengan asas gotong royong, maka penggunaan APBN dapat difokuskan kepada penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah di bawah upah minimum yang membutuhkan rumah tetapi tidak memiliki kemampuan mengakses pembiayaan perumahan.
“Apabila kata "wajib" dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Tapera diubah menjadi bersifat sukarela, maka pembiayaan perumahan bagi MBR akan tetap berpusat pada penggunaan APBN karena dana Tapera yang akan dikelola sebagai pembiayaan perumahan bagi MBR tidak akan terkumpul (tidak terbentuk tabungan kolektif) dengan mekanisme kepesertaan bersifat sukarela, yang pada akhirnya upaya negara dalam memenuhi hak seluruh warga negara untuk bertempat tinggal yang diatur dalam ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 menjadi terhambat,” jelas Andry.
Menurut dia, penghilangan BP Tapera dapat menimbulkan berbagai implikasi, terutama terhadap pengelolaan Dana Tapera yang bersumber dari pengalihan aset Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil dan Dana FLPP, yang saat ini berada di bawah kendali BP Tapera. Dengan dilikuidasinya Bapertarum PNS dan Badan Layanan Umum Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (BLU PPDPP), pengelolaan Dana Tapera yang bersumber dari pengalihan aset Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil dan pengelolaan Dana FLPP telah dialihkan ke BP Tapera. Jika BP Tapera dihilangkan, maka Dana Tapera yang bersumber dari pengalihan aset Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil dan Dana FLPP akan kehilangan badan hukum yang menjadi pengelolanya. Hal tersebut menimbulkan beberapa potensi permasalahan di antaranya kehilangan pengelola dana serta kekosongan regulasi dan tata kelola.
Untuk diketahui, Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024 dimohonkan oleh Leonardo Olefins Hamonangan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung. Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024 dimohonkan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Berikutnya Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024 dimohonkan sejumlah organisasi serikat pekerja, antara lain, Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional, Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif–Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.
Para Pemohon merasa UU Tapera yang mengatur kebijakan pemerintah agar setiap pekerja yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi anggota Tapera telah bertentangan dengan konstitusi. Sebab, menurut para Pemohon, bersifat wajib atau memaksa seolah-olah seperti pajak, serta bukan juga termasuk dalam pungutan lain yang bersifat memaksa untuk diikuti setiap pekerja masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun non-MBR.
Penulis: Mimi Kartika.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.