JAKARTA, HUMAS MKRI - Kolegium tidak boleh berada di dalam pemerintahan karena di dalamnya terkait dengan politik pemerintahan. sedangkan kolegium adalah pengampu keilmuan yang tidak berkait dengan politik atau pemerintahan. Sebab tugas kolegium yakni menentukan standar kompetensi dari cabang ilmu kedokteran; menentukan standar pendidikan tentang bagaimana mencapai kompetensi; menetapkan capaian kompetensi seseorang sehingga layak dianggap kompeten, tidak lagi kompeten, atau tidak berkompeten sama sekali; melakukan pembinaan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Sehingga kompetensi tersebut harus terus terjaga, karena dalam kedokteran yang dilakukan sesuatu yang langsung terkait dengan jiwa dan raga manusia. Oleh karenanya penjagaannya harus kuat.
Demikian keterangan Menaldi Rasmin selaku ahli yang dihadirkan Djohansjah Marzoeki (Pemohon) dalam sidang lanjutan pengujian materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Sidang keenam untuk Perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Rabu (11/12/2024)
di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 Mahkamah Konstitusi (MK).
Lebih jelas Menaldi menerangkakn bahwa kolegium merupakan badan keilmuan yang bersifat otonom dan independent. Otonom dapat bermakna memiliki sistem sendiri tentang bagaimana menilai sebuah keilmuan dan mengembangkan kompetensi untuk mencapai agar keilmuan dikuasai dengan cara baik dan benar. Dalam keilmuan terdapat dua hal dasar, yakni ilmu dasar dan ilmu terapan. Menaldi menjabarkan bahwa ilmu dasar adalah sebenar-benar ilmu yang hakiki. Sedangkan ilmu terapan adalah pengembangannya untuk digunakan pada orang lain atau beberapa keilmuan yang digabungkan agar bisa diterapkan pada orang lain. Sementara pemaknaan independensi adalah mandiri dalam membuat kebijakan. Kolegium tumbuh mengikuti pertumbuhan spesialisasi, sehingga hanya spesialis tertentu yang memahami kebijakan yang ada dan terjadi dalam bidang cabang ilmu tersebut. Tidak mungkin cabang ilmu lain ikut memberikan aturan dan kebijakan pada cabang ilmu yang lain.
“Adanya penguasaan negara atas ilmu pengetahuan kedokteran, yang mana ilmu yang awalnya ilmu dasar tetapi karena berkaitan dengan banyak hal yang dikembangkan ke segala arah dan berada dalam penguasaan politik, menjadikan ilmu terapan itu tidak sesuai dalam penggunaan kemanusiaan sendiri. Hal ini pernah terjadi di Amerika dan Jerman. Negara besar tersebut pernah diadili negara lain di dunia karena kesalahan penggunaan ilmu kedokteran sehingga merugikan banyak orang. Ini menunjukkan ilmu dasar yang telah digunakan secara keliru, akibatnya bisa besar dan sebuah negara bisa diadili negara lain. Di mana negara masuk dalam ilmu dasar dan menggunakannya sebagai ilmu terapan, tetapi tidak dalam kerangka memberikan kebebasan dan independensi dari profesi untuk memahami ilmu dengan cara yang baik dan benar,” jelas Menaldi.
Independensi Kolegium
Menaldi kemudian menerangkan sejarah perjalanan terbentuknya kolegium di Indonesia. sederhananya, dengan adanya badan ini, tidak ada lagi perbedaan sistem atau standar yang diterapkan dari satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Sebab pengembangan keilmuan kedokteran spesialis di Indonesia yang dikembangkan oleh 38 profesi ini dijalankan secara otonom dan independen oleh kolegium dengan pengelolaan pendidikan dan kompetensi dalam cabang ilmu kedokteran spesialis.
Maka dari itu, menurut Menaldi, keberadaan UU Kesehatan yang menerangkan secara universal dalam Pasal 1 angka 26 jo. Pasal 1 angka 44 PP 28/2024 bahwa kolegium merupakan kumpulan ahli dari setiap disiplin ilmu kesehatan yang mengampu cabang disiplin ilmu tersebut, namun adanya kalimat “dan merupakan alat kelengkapan konsil” ini membuat rancu pengertian independensi yang dimaksudkan tersebut,
Dalam pendapat Menaldi, sebuah keilmuan harus dihormati kaidah dan kemandiriannya, karena di dalamnya berkembang kajian yang dapat menentukan bagian dari ilmu terapan yang dapat dikembangkan atau tidak, haruslah dilakukan oleh panel ahli di bidang itu sendiri. Oleh karenanya, kologium memuat pemaknaan spesialisasi yang sangat khusus. Sebab badan ini yang menetapkan standar kompetensi, pendidikan, dan standar kurikulum yang sifatnya tunggal dan tidak berbeda-beda, apalagi berbeda tempat pelaksanaan ilmu terapan.
“Dengan demikian, menjaga independensi kolegium dari pengaruh politik pemerintahan menjadi keharusan. Karena kedokteran, ilmu yang dapat menjadi terapan yang mengancam jiwa dan raga manusia. Sehingga guna mencegah penyalahgunaan ilmu kedokteran, maka mutlak dan harus difasilitasi negara dan dijamin pula bahwa terapannya dapat dipastikan tidak berbahaya bagi masyarakat,” terang Menaldi pada Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo beserta hakim konstitusi lainya dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga:
Mempertahankan Eksistensi Kolegium sebagai Academic Body yang Independen
Dokter Bedah Plastik Perkuat Dalil Eksistensi Kolegium sebagai Academic Body yang Independen
Beda Makna Kolegium dalam UU Kesehatan dengan UU Praktik Kedokteran dan UU Tenaga Kesehatan
DPR: Pembenahan Sistem Kesehatan Dalam Rangka Perbaikan Kualitas Pelayanan
Mempertahankan Keberadaan Kolegium sebagai Badan Otonom
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 111/PUU-XXII/2024 dalam pengujian materi UU Kesehatan diajukan Djohansjah Marzoeki, seorang dokter/guru besar emeritus ilmu kedokteran bedah plastik Universitas Airlangga. Pemohon mengujikan Pasal 451, Pasal 272 ayat (2), Pasal 1 angka 26, Pasal 272 ayat (5), Pasal 421 ayat (2) huruf b UU Kesehatan.
Pada sidang Pendahuluan di MK, Selasa (27/8/2024) lalu, kuasa hukum Pemohon, Muhammad Joni mengatakan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Akibat diberlakukannya norma hukum kolegium (baru) yang termuat pada Pasal 451 UU Kesehatan, maka legalitas kolegium-kolegium yang sudah ada menjadi hilang karena dasar pengakuannya berubah menjadi tidak sah sebagai lembaga ilmiah. Selain itu, menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut menjadikan kolegium yang legitimated menjadi illegitimated dengan membuat aturan hukum yang represif, otoriterian, sewenang-wenang, tanpa ada argumentasi hukum.
Kemudian terkait dengan Pasal 421 ayat (2) huruf b, Pemohon menilai pasal tersebut telah merugikannya karena memberi wewenang kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pengawasan etika dan disiplin profesi. Seharusnya hal demikian menjadi domein profesi dan bukan domein pemerintah.
Sebagai lembaga ilmiah kolegium bertugas mengampu ilmu kedokteran, namun menjadi tidak berdasar apabila dinormakan sebagai alat kelengkapan pemerintah karena (akan) dikendalikan penguasa politik ataupun lembaga pemerintah. Jadi, Pemohon berkepentingan atas legitimasi kolegium yang independen dengan keberadaan dan fungsinya, yang harus mencerminkan kaidah ilmiah dan jati diri ilmu kedokteran. Pemohon berpendapat, keberadaan Kolegium sebagai academic body dan bersifat independen, maka keberadaan dan fungsinya dijamin, dihormati, dan dilindungi yang bukan menjadi bagian dari kapasitas sebagai lembaga pemerintah. Sehingga tugas, fungsi, dan wewenang Kolegium tidak konstitusional jika dibentuk oleh Menteri Kesehatan dan menjadi bagian dari alat kelengkapan lembaga eksekutif yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP 28/2024) sebagaimana termuat pada Pasal 272 ayat (5) UU Kesehatan.
Dalam petitum, Pemohon antara lain meminta MK menyatakan Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”. Sehingga Pasal 272 ayat (2) UU Kesehatan menjadi berbunyi “Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan perannya bersifat independen dan difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.