JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana untuk menguji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pada Selasa (10/12/2024). Permohonan Perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 ini diajukan Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kalyanamitra, dan Titi Anggraini.
Para Pemohon menilai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 secara nyata merugikan hak konstitusional mereka, terutama dalam hal keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pemohon menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan alat kelengkapan dewan (AKD), yang tidak mencapai 30 persen pada periode 2024-2029.
“Kami mengujikan konstitusionalitas norma Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2) dan Pasal 157 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3,” ujar Ahmad Alfarizy, kuasa hukum para Pemohon.
Ia menjelaskan bahwa permohonan ini berbeda dengan permohonan sebelumnya. Pada tahun 2014, MK melalui Putusan Nomor 8/PUU-XII/2014 pernah menguji sejumlah undang-undang. Dalam putusan tersebut, MK memberikan izin untuk mengutamakan keterwakilan perempuan dalam pengisian jabatan pimpinan AKD pada saat itu.
Keterwakilan Perempuan Minimal 30 Persen
Dalam permohonan ini, para Pemohon mengajukan dua isu pokok, yaitu pengaturan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD dan distribusi anggota perempuan dalam AKD secara proporsional sesuai jumlah anggota perempuan di setiap fraksi. Pemohon juga mengusulkan agar ketentuan tersebut diinterpretasikan untuk menciptakan keberimbangan dalam komposisi anggota perempuan di berbagai badan dan komisi di DPR, seperti Badan Musyawarah, Badan Legislasi, dan Badan Anggaran, dengan ketentuan keterwakilan minimal 30 persen.
Menurut Pemohon, ketidakseimbangan ini mencerminkan adanya hambatan struktural yang menghalangi partisipasi perempuan secara inklusif dalam politik. Pemohon berharap MK dapat menyatakan sejumlah pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan mengharuskan penafsiran yang menjamin keterwakilan perempuan dalam struktur parlemen.
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan para Pemohon untuk memperjelas kedudukan hukum (legal standing). “Perlu penegasan di legal standing ini kerugiannya potensial, apa aktual, ini gak jelas ini. Tolong ini diperjelas karena masing-masing berbeda,” kata Enny.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada para Pemohon memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Senin 23 Desember 2024.
Penulis: utami Argawati.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.