JAKARTA, HUMAS MKRI – Desain Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota perwakilan DPR, DPD, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota diselenggarakan secara serentak inheren dengan tafsir sistematis konstitusi Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 juga disebutkan enam model pilihan keserentakan pemilu dan rambu-rambu bagi pembentuk undang-udang dalam menentukan keserentakan pemilu yang akan digunakan tersebut. Atas hal ini, Pemohon mendalilkan dampak pengaturan yang memerintahkan pelaksanaan pemilihan lima kotak membuat parpol tidak punya waktu cukup untuk melakukan rekruitmen dan kaderisasi politik guna mencalonkan anggotanya sehingga dinilai akan melemahkan kelembagaan parpol.
“Justru dengan adanya pemilu serentak, parpol harus lebih profesional dan strategis dalam menyusun daftar calonnya dengan mempertimbangkan integritas, kompetensi, dan loyalitas calonnya terhadap ideologi dan visi misi partai,” kata Anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo dalam sidang Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 pada Selasa (10/12/2024) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Permohonan diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang mengujikan Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Agenda sidang kali ini yakni mendengarkan keterangan DPR RI dan Presiden/Pemerintah ini digelar
Evaluasi Pemilu Serentak 2024
Perludem (Pemohon) dalam dalil permohonannya menyebutkan perlu ada jeda waktu dua tahun antara pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah. Sebab hal demikian akan menjawab persoalan pelembagaan parpol karena parpol tidak dipaksa melakukan perekrutan dalam tiga level sekaligus untuk dua pemilihan tersebut.
Menanggapi dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa sampai saat ini pembentuk undang-undang belum menentukan model yang akan dipilih untuk format pemilu serentak melalui revisi UU 7/2017 pasca-Pemilu Serentak 2024. DPR RI perlu melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 yang telah dijalani pada beberapa waktu yang lalu. Oleh karenanya, DPR masih melakukan pendalaman terhadap berbagai masukan seluruh pemangku kepentingan terkait materi perubahan UU 7/2017 tersebut, termasuk format keserentakan yang menjadi objek perkara.
Berikutnya, DPR memberikan keterangan sehubungan dengan dalil Pemohon soal penyelenggaraan pemilu daerah setelah dua tahun usai pelaksanaan pemilu nasional. Sehingga masa jabatan kepala daerah yang dilantik pada 2025 akan mengakhiri jabatan pada 2031, sesuai dengan jadwal pemilu daerah secara serentak yang dilaksanakan pemilihannya dengan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. Atas dalil ini DPR RI berpendapat, konsepsi yang dibangun dengan memperpanjang jabatan kepala daerah dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota hingga 2031 masih memerlukan kajian yang mendalam.
Sebab diperlukan pencermatan atas ada atau tidaknya hal yang akan mengganggu dinamika demokrasi di daerah dan berpotensi menciptakan ketidaksinambungan siklus politik. Selain itu, kemungkinan adanya potensi dan dampak negatif perpanjangan masa jabatan tersebut. Sebab kepemimpinan yang tidak diperbaharui dalam waktu lama sering kali menghadirkan risiko yang harus dipertimbangkan secara matang.
“Bahkan dalam permohonan ini, Pemohon belum menjelaskan formulasi dua tahun jeda tersebut, sehingga perlu kajian komprehensif dan simulasi atas ini terlebih dahulu. Tanpa adanya hal ini, maka tidak dapat segera dilakukan atas waktu yang diperlukan dua tahun karena butuh pertimbangan dari banyak pihak, di antaranya dari pertimbangan penyelenggara pemilu, parpol, dan peserta pemilu lainnya,” terang Rudianto.
Sinergi RPJMD dengan RPJMN
Sementara Presiden/Pemerintah yang diwakili Direktur Politik Dalam Negeri Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Syarmadani mengatakan pelaksanaan keserentakan pemilu menjadi bagian penyelarasan dan persinergian rencana pembangunan nasional dan pembangunan daerah. Diharapkan Presiden terpilih yang menerjemahkan dalam RPJMN dapat menjadi pedoman dalam penyusunan RPJMD Provinsi/Kabupaten/Kota. Sehingga dengan demikian Kepala Daerah terpilih beberapa bulan setelah Pemilihan Presiden dapat menyelaraskan dan mensinergikan RPJMD dengan RPJMN.
Syarmadani menegaskan keselarasan ini menjadi penting karena Indonesia sebagai negara kesatuan harus didukung oleh pembangunan nasional dan daerah yang searah dan selaras. Sejatinya proses transisi keserentakan sudah dilakukan sejak 2017 sampai dengan 2020. Sehingga apabila kebijakan didasarkan pada argumentasi Pemohon a quo terhadap perubahan waktu keserentakan pemilu pusat dan baru akan dilaksanakan dua tahun kemudian dengan dilaksanakannya pemilu daerah, hal ini akan tidak sesuai dengan tujuan keserentakan penguatan sistem presidensial dan penguatan sinkronisasi dokumen RPJMN dengan RPJMD.
“Saat ini pun sedang dilaksanakan keserentakan pemilu dan pilkada, dari keserentakan ini perlu dilihat mengenai kelebihan dan kekurangan pelaksanaannya yang sedang berlangsung, sehingga tidak serta-merta mengubah keserentakan dalam pemilu dan pilkada. Terhadap opsi pemilu daerah yakni memilih DPRD, gubernur, bupati, dan walikota dilaksanakan dua tahun setelah pemilu nasional, ini dapat saja menimbulkan konsekuensi terjadinya kekosongan kepala daerah dan DPRD yang akan berdampak terhadap stabilitas jalannya pemerintahan daerah, apalagi saat ini belum ada pengaturan mengenai kekosongan jabatan DPRD,” tegas Syarmadani.
Baca juga:
Perludem: Pemilu Serentak Lima Kotak Melemahkan Pelembagaan Partai Politik
Perludem Perkuat Argumentasi Uji Pemilu Serentak Lima Kotak
Sidang Uji Keserentakan Pemilu Ditunda
Sebagai tambahan informasi, dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Jumat (4/10/2024), Perludem melalui tim kuasa hukumnya menyebutkan pemilu serentak lima kotak telah melemahkan pelembagaan partai politik, melemahkan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, dan menurunkan kualitas kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu. Sebab dalam pandangan Pemohon, pengaturan keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak lagi bisa hanya dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja, apalagi disederhanakan soal teknis, dan implementasi undang-undang saja.
Selain itu, pengaturan jadwal penyelenggaraan pemilu akan berdampak sangat serius terhadap pemenuhan seluruh asas penyelenggaraan pemilu yang termuat dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI 1945 serta berdampak pada kemandirian dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu dalam Pasal 22E Ayat (5) UUD NRI 1945. Sehingga pengaturan pada undang-undang tersebut yang memerintahkan pelaksanaan pemilu Presiden, DPR, DPD, yang dibarengi dengan pemilu anggota DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota telah terbukti terus-menerus membuat partai politik tidak punya waktu yang cukup untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik untuk mencalonkan anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus. Akibatnya, partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik ketika para pemilik modal, caleg popular dan punya materi yang banyak untuk secara transaksional dan taktis dicalonkan karena partai tidak lagi punya kesempatan, ruang, dan energi untuk melakukan kaderisasi dalam proses pencalonan anggota legislatif di semua level pada waktu yang bersamaan.
Dalam petitum, Perludem antara lain meminta MK menyatakan Pasal 1 ayat (1) UU Pemilu yang menyebutkan “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia” bertentangan dengan UUD NRI 1945, sepanjang tidak dimaknai “Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden pada pelaksanaan pemilu nasional, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan gubernur, bupati, dan walikota pada pelaksanaan pemilu daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina.