JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan pengujian materiil Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang Perkara Nomor 168/PUU-XXII/2024 berlangsung di Ruang Sidang MK Gedung 1 MK. Permohonan ini diajukan oleh Surianingsih, seorang warga negara Indonesia yang telah membayar pajak. Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Ridwan Mansyur.
Pemohon mengajukan keberatan terhadap ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c UU 28/2007 dan Pasal 43 ayat (1) UU 14/2002 yang dianggap tidak memberikan kepastian hukum. Dalam dalilnya, Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional karena kewajiban pembayaran pajak tetap berlaku meskipun Pemohon sedang menempuh upaya hukum, seperti pengajuan pembatalan atau pengurangan ketetapan pajak.
Ketidakpastian ini dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan asas negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pemohon juga membandingkan ketentuan ini dengan Pasal 25 ayat (3a) dan ayat (7) serta Pasal 27 ayat (5) UU 28/2007, yang memberikan hak penundaan pembayaran pajak bagi wajib pajak yang mengajukan keberatan atau banding.
Dalam persidangan, Pemohon menyampaikan adanya diskriminasi hukum. Jalur keberatan dan banding memberikan penundaan pembayaran pajak hingga satu bulan setelah keputusan diterbitkan. Namun, jalur pembatalan dan gugatan tidak memberikan hak yang sama, sehingga wajib pajak harus membayar kewajiban pajaknya meski sedang menempuh upaya hukum.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c UU 28/2007 dan Pasal 43 ayat (1) UU 14/2002 mengakibatkan ketidakpastian hukum yang adil. Norma tersebut juga berpotensi menciptakan perbedaan akibat hukum antara jalur keberatan/banding dan pengurangan/pembatalan, yang dinilai tidak sejalan dengan tujuan utama untuk mendapatkan kepastian hukum dan keadilan.
Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “…mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;” dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “…mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar dan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat Pengurangan atau Pembatalan disampaikan, dan jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan Pengurangan atau Pembatalan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan.
Menanggapi permohonan Pemohon Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan Pemohon untuk menguraikan sebab akibat kerugian yang dialami oleh Pemohon. “Ini tolong saudara uraikan lebih spesifik gitu karena memang ada kasus konkret yang dialami oleh saudara prinsipal disini. Jadi kasus konkrit sebagai pintu masuk saja pembuka kemudian saudara uraikan lima syarat kerugian,” ujarnya.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari untuk Pemohon memperbaiki permohonannya. Adapun paling lambat perbaikan adalah Senin, 23 Desember 2024. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina