JAKARTA, HUMAS MKRI - Usaha Persyarikatan Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan meliputi memelihara dan mendayagunakan sumber daya alam dan lingkungan untuk kesejahteraan. Sehingga pengelolaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas dilakukan secara profesional berdasar nilai-nilai Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
Demikian keterangan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang disampaikan M. Arif Budimanta dalam sidang lanjutan atas uji materiil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) pada Senin (9/12/2024) di Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang ketujuh untuk Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Rega Felix ini yakni mendengar keterangan PP Muhammadiyah.
Lebih jelas Arif menyebutkan seluruh amal usaha milik Persyarikatan Muhammadiyah terbuka untuk diakses siapa pun, termasuk dengan WIUPK yang akan diberikan secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki Persyarikatan Muhammadiyah. Pada izin tersebut juga terdapat syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang sama dengan pihak yang mendapatkan WIUPK yang diberikan kepada korporasi. Beberapa di antaranya tentang syarat yang terkait dengan pemasukan kepada negara dan kewajiban lainnya. Muhammadiyah sebagai bagian dari organisasi keagamaan memiliki dua keuntungan sekaligus, yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, keuntungan dari penerimaan negara yang sama dengan korporasi, dan manfaat untuk kepentingan bangsa/negara.
“Sehingga keuntungan yang didapatkan badan usaha milik ormas keagamaan ini sejatinya akan digunakan untuk memperluas akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi melalui pembangunan sekolah dan perguruan tinggi dan rumah sakit Muhammadiyah di seluruh wilayah Indonesia guna melayani lapisan masyarakat tanpa membedakan suka, agama, ras dan antargolongan,” jelas Arif.
Komitmen Muhammadiyah
Menanggapi permohonan pengujian materi UU Minerba ini Arif mengatakan Muhammadiyah sebagai persyarikatan menjunjung tinggi nilai Al-Maun, Al-Ashr, dan Ta’awun. Al-Maun mencakup keberpihakan kepada kaum miskin tertindas, baik secara struktural maupun kultural. Nilai Al-Ashr termasuk merespon waktu untuk memberikan solusi secara rasional dan berkemajuan yang diwujudkan dengan gerakan nyata bukan gerakan yang retorika. Nilai Ta’awun mencakup kemampuan kerja sama gotong-royong dalam memberikan kebaikan dan kemaslahatan bagi semesta.
Dalam hal ini, sambung Arif, Muhammadiyah berkomitmen mewujudkan Indonesia berkemakmuran dengan sumber daya alam sebagai salah satu pilar ekonomi sekaligus indikator keberhasilan pembangunan ekonomi dalam wujudkan kemakmuran bangsa. Untuk mewujudkan ini, Arif menyatakan bahwa tata kelola sumber daya nasional yang adil, inklusif, berkelanjutan, dan partisipasi masyarakat yang dinamis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebersamaan dalam tata hidup berbangsa dan bernegara.
Disebutkan Arif bahwa berdasar data dari BPS menyebutkan pertambangan dan penggalian menyumbang sekitar 11% terhadap produk domestik bruto nasional pada 2023. Data lainnya juga menunjukkan pertambangan menimbulkan berbagai persoalan serius, seperti kerusakan lingkungan, konflik sosial dan ketimpangan distribusi keuntungan. Masalah lainnya adalah keterkaitan pembukaan lahan di wilayah tertentu, sejak 2010 – 2020 sekitar 1,65 juta hutan ditebang yang berdampak pada keragaman hayati, termasuk rusaknya kehidupan tempat tinggal masyarakat hukum adat yang bergantung pada hutan untuk kebutuhan sehari-harinya.
“Muhammadiyah memiliki tata kelola yang mumpuni dalam penyediaan sumber daya yang berkualitas. Hal ini ditunjukkan dengan kepemilikan 165 perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah yang dapat mendukung terwujudnya tata kelola yang berkelanjutan. Perguruan tinggi tersebut di antaranya memiliki fakultas pertambangan, ekonomi, yang membidangi kajian lingkungan hingga fokus pada pengelolaan lingkungan. Bahkan Muhammadiyah dalam tata kelola organisasi persyarikatan pada aspek keuangan dan kekayaan serta pelaporan selalu melakukan pertanggungjawaban amal usaha yang diatur dalam AD/ART Muhammadiyah. Dengan arti kata, kekayaan Muhammadiyah adalah semua harta benda yang diperoleh dari sumber yang sah dan halal serta digunakan untuk kepentingan pelaksanaan amal usaha, program, dan kegiatan Muhammadiyah,” terang M. Arif Budimanta dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga:
Prioritas Pengelolaan Tambang ke Ormas Dipertanyakan
Advokat Perjelas Makna “Prioritas” dalam Uji Pengelolaan Tambang oleh Ormas
DPR dan Pemerintah Minta Penjadwalan Ulang Sidang Uji UU Minerba
Pemerintah: Penawaran WUIPK Secara Prioritas Memperluas Kapasitas Pengelolaan Minerba
Ahli Pemerintah Jelaskan Kapasitas Ormas Keagamaan Kelola Tambang
DPR: Pemberian Prioritas Penawaran WIUPK Tetap dengan Syarat Tertentu
Sebelumnya, seorang advokat sekaligus dosen, Rega Felix, mengajukan pengujian materiil Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sidang perdana Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 yang dilaksanakan di MK pada Rabu (24/7/2024), Rega mengatakan bahwa kebijakan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada ormas keagamaan tidak memenuhi parameter untuk dapat diterapkan sebagai kebijakan afirmatif berdasarkan UUD 1945.
Menurutnya, Pemerintah masih dapat melaksanakan penawaran secara prioritas sepanjang tidak menggunakan pertimbangan berdasaran suku, agama, ras, dan antargolongan. Jika prioritas tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan tersebut, maka telah jelas bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Karena makna “prioritas” dalam norma pasal yang diuji tidak jelas batasannya dan dapat menciptakan self-reference norm kepada presiden.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas” dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf j sebagaimana telah diubah berdasarkan Pasal I angka 4 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”. Kemudian meminta klausul “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat” dalam Pasal 35 Ayat (1) sebagaimana telah dirubah berdasarkan Pasal I angka 26 UU Minerba bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat tanpa didasari kepada pertimbangan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan”.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: N. Rosi
Humas: Fauzan F.