JAKARTA, HUMAS MKRI – Empat mahasiswa mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 163 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon Perkara Nomor 167/PUU-XXII/2024 ini mengaku menyadari adanya potensi yang serius berupa intervensi antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Pasal 163 ayat (3) UU Pemilu menyatakan Sekretaris DKPP diangkat dan diberhentikan oleh Mendagri. Menurut para Pemohon yang terdiri dari Caroline Gabriela Pakpahan, M Nurrobby Fatih, Abednego Paniroi Rafra Gurning, dan Muhammad Thoriq Classica Perdana, pasal a quo menunjukkan secara gamblang adanya ketergantungan administratif yang dapat mengurangi independensi lembaga tersebut dalam menjalankan tugasnya.
“Ketentuan tersebut secara jelas menandakan adanya intervensi unsur pemerintah penunjukkan struktural kelembagaan DKPP melalui Kementerian Dalam Negeri. Hal ini berpotensi mengkurasi independensi DKPP dalam menjalankan tugas dan kewenangannya,” ujar Thoriq dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Kamis (5/12/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Dengan demikian, kata para Pemohon, terdapat ketidaksetaraan dalam kedudukan DKPP dengan lembaga penyelenggara pemilu lainnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Ketidaksetaraan tersebut berpotensi mengurangi kredibilitas dan independensi lembaga DKPP yang tugasnya menjamin keberlangsungan pemilu yang bebas, adil, dan tidak terpengaruh oleh kekuatan politik.
DKPP sebagai lembaga yang memiliki tugas menjaga kode etik penyelenggara pemilu seharusnya diperlakukan yang setara dengan KPU dan Bawaslu tanpa adanya intervensi atau pengaruh eksternal, khususnya pemerintah (eksekutif). Ketergantungan DKPP terhadap pemerintah eksekutif dalam hal administrasi dan pengelolaan anggaran berpotensi menciptakan bias baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mengancam netralitasnya serta bertentangan dengan prinsip independensi yang diamanatkan bagi lembaga penyelenggara pemilu.
“Sifat kelembagaan yang dimiliki oleh DKPP saat ini, penting untuk menciptakan sistem manajemen birokrasi yang mandiri bagi DKPP yang terbebas dari campur tangan Kemendagri, guna memastikan bahwa keputusan yang diambil oleh DKPP tidak hanya adil dan transparan tetapi juga bebas dari intervensi eksternal,” kata Caroline.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 163 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul DKPP. Dengan demikian pasal a quo sebagaimana petitum para Pemohon menjadi “Sekretaris DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul DKPP”.
Nasihat Hakim
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Daniel mengatakan para Pemohon harus mengelaborasi masing-masing kedudukan hukum atau legal standing dikaitkan dengan kerugian hak konstitusional terhadap keberlakuan norma pasal yang diuji dalam UU Pemilu ini untuk bisa meyakinkan para hakim konstitusi.
“Kemudian kalau bisa ya diperkuat dengan teori ya atau mungkin ada contoh di negara-negara lain di mana posisi dewan etik kalau ada sekretarisnya harus diangkat oleh presiden,” kata Daniel.
Di sisi lain, Arsul sempat mengonfirmasi permohonan yang diajukan para Pemohon apakah murni berdasarkan keinginan masing-masing atau ada pengaruh dari pihak DKPP. Kuasa hukum para Pemohon, Sandy Yudha Pratama Hulu pun membantah permohonan ini adalah titipan dari pihak lain. “Kami ingin menyampaikan sekali lagi bahwa permohonan ini bukan titipan karena memang Pemohon IV-nya sudah pernah melapor ke DKPP sehingga kami dari para Pemohon memang murni untuk mengajukan permohonan ini,” kata Sandy.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas permohonan baik soft copy maupun hard copy harus diterima Mahkamah paling lambat Rabu, 18 Desember 2024. (*)
Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan