JAKARTA, HUMAS MKRI - Hak digital merupakan hak asasi manusia yang bukan saja secara normatif diatur dalam ketentuan hukum. Sebab dalam perkembangan peradaban kemanusiaan, konstitusionalisasi keadilan digital itu menjadi hal yang tak dapat dihindari dari pesatnya dunia digital yang mempengaruhi keseharian hidup warga/bangsa di dunia. Sehingga pengaturannya harus mempertimbangkan perlindungan hak dasar dan penyeimbangan kekuasaan dalam lingkungan digital dengan memastikan prinsip negara hukum sebagai prinsip dasar bagi peradaban baru dalam kemanusiaan.
Hal tersebut disampaikan Herlambang Perdana Wiratraman dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada Kamis (5/12/2024). Sidang ini digelar untuk dua perkara sekaligus yakni Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan, dan Perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang diajukan Jovi Andrea Bachtiar (Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia). Pemohon 105/PUU-XXII/2024 menghadirkan Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini sebagai Ahli untuk memberikan keterangan berkaitan dengan pengujian Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) dan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE 2024.
Secara lebih jelas Herlambang menjabarkan bahwa konsep konstitusionalisme keadilan digital mewakili keterhubungan antara narasi baru ketatanegaraan, masalah keadilan sosial, dan transformasi digital yang menjadi keseharian masyarakat. Maka untuk menjamin keberlakuan UU ITE 2024 agar norma normatif ini tidak mudah disalahgunakan, maka Mahkamah harus memberikan kejelasan agar pasal 27A jo Pasal 45 ayat (4) UU ITE 2024 tidak menjadi sapu jagat atau keranjang sampah dengan menerapkan standar tafsir berbasis doktrin Siracusa Principles. Yakni pembatasan yang dimungkinkan melalui tes tiga tahap yaitu diatur oleh hukum; adanya tujuan pembatasan yang sah; dan kebutuhan. Pemutusan ini ditujukan untuk memastikan agar ketentuan pidana ‘pencemaran nama baik melalui media elektronik’ tidak keliru penerapan hukumnya atau bahkan tidak membuka peluang disalahgunakan dalam ruang demokrasi.
Oleh karenanya, Herlambang menyebutkan bahwa tafsir Pasal 27A UU ITE 2024 tidak konstitusional sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, kecuali terhadap korporasi, lembaga pemerintah, kelompok perorangan, pejabat publik, dan/atau figur publik dengan cara menuduhkan dilakukannya suatu perbuatan dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik”. Hal ini pada intinya, jelas Herlambang, memberi kualifikasi pihak atau subjek yang dikecualikan atas pemberlakuan pasal ‘pencemaran nama baik’ yakni lima subjek, korporasi, lembaga pemerintah, kelompok perorangan, pejabat publik, dan/atau figur publik. Sehingga dengan mendetailkan kata dalam Pasal 28A ayat (2) UU ITE 2024, maka proses untuk membuktikannya menjadi lebih ketat dan terarah dengan maksud yang terkandung dalam ketentuan hukum ICCPR berkaitan dengan hate speech yang dilarang.
“Menghapus kata ‘…dan tanpa hak’, ‘dan/atau mentrasmisikan’ dan menambahkan kata ‘…merupakan hasutan kebencian melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan’ adalah upaya untuk mengkualifikasikan kategori penggunaan pasal ‘ujaran kebencian’ sesuai dengan standar hukum hak asasi manusia internasional. Dengan mendetailkan kata dalam Pasal 28A ayat (2) UU ITE 2024, maka proses untuk membuktikannya menjadi lebih ketat dan terarah dengan maksud yang terkandung dalam ketentuan hukum ICCPR berkaitan dengan hate speech yang dilarang,” terang Herlambang kepada Majelis Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo didampingi hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga:
Aktivis Unggah Konten Video Pencemaran Lingkungan Berujung Penahanan Berdasar UU ITE
Aktivis Lingkungan Sempurnakan Dalil Permohonan Uji UU ITE
Untuk diketahui, permohonan Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Pada Sidang Pendahuluan yang digelar di MK, Senin (26/8/2024) lalu, tim kuasa hukum Daniel Frits Maurits Tangkilisan (Pemohon) mengungkapkan, Pemohon adalah aktivis lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali). Pemohon kerap memperjuangkan, melestarikan, dan mempromosikan kesadaran terhadap perlindungan lingkungan hidup melalui pelbagai platform media sosial dengan memuat konten atau materi dengan tema perlindungan lingkungan hidup.
Pemohon merasa menjadi “korban” dari UU ITE yang diterapkan secara “karet”. Hal ini bermula dari konten video yang Pemohon unggah pada laman Facebook-nya yang menunjukkan tercemarnya salah satu pantai di Karimun Jawa. Video tersebut ternyata menimbulkan pelbagai reaksi dari pengguna Facebook.
Pernyataan Pemohon dalam konten video tidak ditujukan pada orang tertentu dan tidak pula ditujukan untuk menimbulkan kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antar golongan. Namun Pemohon tetap dikenai proses hukum berupa penahanan. Pemohon diproses dengan menggunakan (i) Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2); atau (ii) Pasal 45 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE 2016. Dengan demikian, menurut Pemohon, jelas telah terjadi pelanggaran hak konstitusional Pemohon.
Singkatnya, Pemohon berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jepara dinyatakan bersalah sebagaimana UU ITE lama (UU ITE 2016). Pada Mei 2024, Pengadilan Tinggi Semarang melepaskan Pemohon dari dakwaan, namun Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap putusan Nomor 374.PID.SUS/2024/PT SMG. Hal ini dikhawatirkan berpotensi pada diadilinya Pemohon menggunakan UU ITE baru (2024) dan karenanya Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan perkara ini ke MK.
“Terkait dengan Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE utamanya frasa ‘orang lain’ menurut Pemohon hal ini tidak memberikan kepastian hukum. Bahwa spektrum ‘korban’ yang dilingkupinya sangat luas, sehingga siapapun dapat menjadi objek pengaduan. Untuk itu, perlu dilakukan pembatasan penafsirannya yang dapat dimanifestasikan dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023),” sebut Damian Agata Yuvens selaku kuasa hukum Pemohon.
Baca juga:
Jaksa Tersandera Kriminalisasi Berdasarkan UU ITE Usai Posting Kritik
Jaksa Sempurnakan Dalil Permohonan Uji UU ITE Soal Kritik di Medsos
Sedangkan permohonan Perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024 diajukan Jovi Andrea Bachtiar (Jaksa pada Kejaksaan Republik Indonesia). Pada sidang pendahuluan di MK, Selasa (3/9/2024) lalu, Pemohon melalui tim kuasa hukumnya menyebutkan bahwa Pemohon sedang dalam proses hukum atas laporan pengaduan ke Kepolisian Resor Tapanuli Selatan terkait kritik di media sosial (medsos) terhadap penyelenggara negara yang dinilainya menyalahgunakan kewenangan dengan menggunakan fasilitas negara secara sembarangan. Akibatnya, Pemohon dilaporkan dan ditahan di wilayah hukum Kepolisian Resor Tapanuli Selatan. Dalam pandangan Pemohon, ketidaksediaan seorang ASN yang dikirik tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya ketidakjelasan dalam memaknai frasa “dilakukan demi kepentingan umum” dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP dan frasa “untuk kepentingan umum” dalam Pasal 45 ayat (7) UU ITE.
Pada hakikatnya, Pemohon menilai pasal-pasal tersebut berpotensi membuka posibilitas untuk mengkriminalisasi sebagaimana yang dialami Pemohon hanya karena mengkritik sesama penyelenggara negara. Oleh karenanya, Pemohon menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945.
Untuk itu, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “dilakukan demi kepentingan umum” dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk juga “kritik terhadap kebijakan pemerintah, kritik terhadap penyelenggara negara agar tidak menyalahgunakan kewenangan atau berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan kritik agar penyelenggara negara tidak menggunakan fasilitas negara secara sembarangan apalagi tanpa hak.” Sehingga rumusan Pasal 310 ayat (3) KUHP berubah menjadi, “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan untuk membela diri atau demi kepentingan umum seperti kritik terhadap kebijakan pemerintah, kritik terhadap penyelenggara negara agar tidak menyalahgunakan kewenangan atau berbuat sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan kritik agar penyelenggara negara tidak menggunakan fasilitas negara secara sembarangan apalagi tanpa hak.
Baca juga:
DPR dan Presiden Minta Penundaan Sidang Pengujian UU ITE
Pembatasan dalam UU ITE Guna Menjaga Keseimbangan Kebebasan Berekspresi
Ahli: Kegagalan Memahami Perkembangan Menyebabkan Ketentuan Pidana dalam UU ITE Rawan Disalahgunakan
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Humas: Fauzan F.